top of page
  • Vicharius DJ

Gagasan Tiga Perupa dalam Satu Panggung


Faisal Habibi, Octora Chan, dan Budi Adi Nugroho memang bukan trio anak muda biasa. Generasi yang tumbuh di era 2010an itu punya selera yang sama mengenai seni rupa. Hal itu pula yang menjadi alasan pertemuan mereka ketika memenangi Kompetisi Trimatra Nasional-Salihara pada 2014 lalu.

Atas latar belakang itu pula terbesit ide menyatukan arsip dan dokumentasi karya mereka dalam satu pameran bersama dengan tajuk Kait Kelindan. Harapannya gagasan-gagasan mereka dan pengalaman residensi di Berlin masih dapat diperkenalkan pada publik. Tak salah bila kuratorial pameran dibuat dengan konsep semi dokumenter.

Publik nantinya dapat melihat bagaimana kait kelindan latar pendidikan dan pergaulan terhadap perkembangan gagasan-gagasan dan karya-karya mereka. Sekitar satu dasawarsa belakangan ini, terutama setelah memenangi Kompetisi Trimatra lalu, karya-karya mereka merebut perhatian publik karena memperlihatkan wujud baru yang sangat jauh dan berbeda dengan karya-karya pematung sebelumnya.

Bahkan, tanpa acuan pada karya-karya angkatan di atasnya dan dosen mereka di Bandung. Seperti ada suatu kondisi yang melemparkan mereka ke dalam orbit baru yang berbeda dalam bahasa dan lagak.

Kalau generasi sebelumnya mengandalkan studio dan kelas dalam mempelajari karya-karya pematung utama sebagai acuan, trio seniman ini justru dilihat sebagai potret generasi kedai kopi yang dengan laptop masing-masing mengakses perkembangan seni rupa dan realitas masa kini dari mana saja.

Mereka tumbuh dalam tradisi virtual dengan pustaka Google yang dapat melihat sejauh-jauhnya dan juga bisa melihat kekinian sedekat-dekatnya, selengkap-lengkapnya. Dengan kata lain, ensiklopedi kehidupan ada dalam genggam tangan mereka yang setiap saat bisa dilihat.

Octora Chan misalnya. Ia banyak menggunakan material logam mulai yang lunak dan ringan seperti kawat ram hingga logam tuang (perungu dan aluminium) yang masif dan berat. Octora menggunakan teknik ketok, cetak, dan lain sebagainya yang lazim dipakai oleh para pematung dari dulu hingga sekarang.

Karya-karya Octora banyak mengangkat tema-tema perempuan, kekerasan dan penindasan. Pemandangan yang tentu saja tak pernah ia lihat langsung, tapi lewat jendela televisi dan telepon selular. Berita-berita yang kemudian membentuk opini dan memengaruhi publik tentang ancaman kejahatan yang setiap saat bisa terjadi pada siapapun.

Ketertarikannnya pada tema-tema ini nampaknya berkait kulindan dengan dirinya yang tak hanya belajar seni rupa tapi juga bidang hukum yang esensi dasarnya adalah menemukan rasa keadilan. Pakaian kebaya yang merupakan simbol feminitas berulang-ulang ia tafsirkan dalam karya-karya-nya, menggunakan pelbagai medium; kawat, serat gelas, kain, dan lain sebagainya.

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page