- Vicharius DJ
Menggali Kembali Akar Tari Nusantara: Tari Melayu
Sekitar delapan pasang penari, perempuan dan laki-laki, menarikan tari Serampang 12. Sebuah warisan budaya asal Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Gerakan yang dinamis dengan tempo sedang itu memulai gelaran panggung Telisik Tari 2016, program yang diselenggarakan oleh Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Tahun ini tema yang diusung adalah tari Melayu.
Kak Wardi, koreografer yang mendirikan Sanggar Putih Melati menceritakan bahwa tari Serampang 12 diciptakan di tahun 1934. Tarian ini kemudia mulai masuk ke Jakarta di tahun 1955-1956. Bukan hanya Kak Wardi yang ingin pamer kebolehan. Koreografer lain, Irianto Catur mencoba menampilkan tarian Melayu dengan memakai ‘baskom’. Irianto memang dikenal sebagai koreografer yang menampilkan tari tradisional secara lebih populer.

Baginya, baskom adalah eksperimen menarik di tengah tari Melayu yang dinamis. “Saya sengaja memakai baskom sebagai salah satu alat yang menarik. Gimana gerakannya akan berubah cepat, lalu sedang, dan kembali dinamis,” kata Irianto.
Di periode 1950-an, Tari Melayu berkembang di negara Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Tari Melayu adalah salah satu produk budaya masyarakat yang ada di Nusantara. Bung Karno mencanangkan para pemudi-pemuda Indonesia untuk belajar tari Melayu Serampang 12 sebagai usaha untuk membentengi pergaulan dari tarian-tarian budaya Barat (Cha-Cha, Waltz, Agogo) yang trend di kalangan anak muda kala itu.

Dalam sambutannya, Ketua Komite Tari DKJ Hartati mengatakan, focus program Telisik Tari adalah untuk mengingatkan kembali bahwa budaya Indonesia banyak yang berdasar pada budaya Melayu. “Kami merasa generasi muda saat ini melihat Melayu seakan-akan adalah milik negara tetangga. Untuk itu pada Telisik Tari tahun ini kami angkat Tari Melayu,” tutur Hartati.
Telisik Tari adalah platform untuk mendiskusikan isu-isu seputar tari tradisional di Indonesia secara kritis. Program ini adalah pengembangan dari program sebelumnya yang berjudul 'Maestro! Maestro!'.