top of page
  • Vicharius DJ

Fast Fashion dan Sisi Gelap Dunia Fesyen


Fashion atau dalam serapan bahasa Indonesia disebut fesyen selalu identik dengan kesan indah, modis, dan tentu saja gaya hidup. Tiga hal itulah yang membuat fesyen kini bukan lagi menjadi sekedar kebutuhan melainkan keinginan yang berujung pada konsumerisme. Tak peduli berapa harga yang harus ditebus, jika sudah kepalang suka dengan fesyen tertentu, ia akan tetap dibeli.

Secara tak sadar manusia menjadi korban fesyen itu sendiri. Fesyen menyimpan sisi kelamnya yang jarang muncul ke permukaan. Tidak semua orang menyadari proses yang harus dilalui sepotong kaos yang mereka kenakan saat ini, apa dan bagaimana ia bisa sampai ke tangan konsumen. Pandangan kritis itulah yang muncul dalam pameran mode bertajuk, Fast Fashion: The Dark Side of Fashion.

Dalam konteks ini, fast fashion (seperti halnya fast food pada makanan), pakaian diproduksi secara massal dengan proses produksi cepat termasuk proses desain, manufaktur dan penjualan. Pada akhirnya, fast fashion menimbulkan fast consumer yakni konsumen dengan cepat memutuskan membeli pakaian karena tren dan harga yang semakin murah ketika membeli lebih banyak.

Claudia Banz, kurator pameran, mengatakan sisi baik dari fast fashion adalah harga yang terjangkau dan kemudahan dalam akses, ditambah peran media sosial saat ini. Tapi, ada harga yang harus dibayar. “Baju model baru keluar, dua minggu kemudian ada model baru lagi. Lalu orang merasa perlu untuk punya yang baru. Fast fashion membentuk kebutuhan baru,” jelas Claudia.

Oleh karenanya, pameran ini mengangkat tema besar akan konsumerisme. Mau tidak mau, konsumerisme membawa dampak pada produksi massal pakaian demi memenuhi permintaan konsumen. Tapi, konsumen mungkin tidak tahu siapa dan bagaimana kondisi pekerja yang turut berperan dalam sepotong baju yang mereka kenakan.

Untuk lebih meyakinkan, Claudia lalu menunjukkan foto-foto korban peristiwa runtuhnya pabrik garmen Rana Plaza, Daka, Bangladesh pada 23 April 2013. Pada insiden itu, ribuan pekerja tewas, ratusan hilang dan luka-luka. Pekerja di Rana Plaza adalah bagian dari empat juta pekerja garmen di Bangladesh. Mereka melayani pasar internasional, Eropa, Amerika dan merek internasional. Peristiwa ini, menurut Claudia, menjadi gambaran betapa para pekerja berusaha bertahan hidup dengan bekerja di tempat yang tidak layak. “Mereka bekerja di tempat yang rapuh. Mereka korban nyata dari fast fashion,” ucapnya.

Dari sisi konsumen sendiri, konsumerisme membuat orang terus membeli pakaian namun banyak tidak terpakai dan berakhir di almari. Berdasarkan riset, Claudia menyebut, di Eropa dari sekian pakaian yang dimiliki, sekitar 40 persen hanya menghuni almari. Di Jerman, orang mendonasikan pakaian mereka yang tidak dipakai. Tapi rupanya pebisnis memanfaatkan pakaian ini dan dijual ke negara lain, seperti di Afrika.

“Ketika pameran ini diadakan di Jerman, saya bilang pada warga Jerman dan mereka syok. Mereka pikir pakaian bekas itu didonasikan,” ujar Claudia.

Jika Anda tertarik dengan sisi lain dunia fesyen, Anda bisa mengunjungi galeri pameran di Gudang Sarinah, Pancoran, Jakarta Selatan. Pameran ini terbuka untuk publik hingga 9 April mendatang. Selama dua bulan, program tersebut melibatkan tekstil, desain, show fashion lab, program pendukung, dan diakhiri residensi tekstil. Proyek ini merupakan salah satu proyek besar Goethe-Institut di kawasan Asia Tenggara, Australia, dan New Zealand di tahun 2017.

Dalam pameran ini program IKAT/eCUT juga memperkenalkan contoh-contoh praktik lokal, tradisional, fesyen berkesinambungan dari penjuru Indonesia dan juga serangkaian aktivitas yang menawarkan pengalaman berkarya secara kolektif di luar blantika fesyen instan.

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page