top of page
  • Vicharius DJ

Sosio Kultural NTT dalam Karya Nusa Lontar


Para perupa Nusa Tenggara Timur (NTT) terus menggeliat menjadi salah satu jagoan dari Indonesia Timur. Kali ini Dinas Kebudayaan Provinsi NTT, bekerjasama dengan Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki menggelar Pameran bertajuk Nusa Lontar. Pameran ini menampilkan sekitar 40-an karya tahun 2016-2017, berupa lukisan, sketsa, digital painting, hingga instalasi, yang menggunakan berbagai medium. Melalui Nusa Lontar, Yusuf sang kurator, mengajak para perupa melakukan pembacaan potensi dan tantangan NTT hari ini ke depan, melalui alam dan isinya. Termasuk kehidupan masa kini, sebagai “kitab suci terbuka” untuk melengkapi teks kitab suci-Nya. Dengan kebebasan dan kreativitasnya masing-masing (ke-10 perupa), beberapa di antaranya bisa disebut garda depan perupa NTT saat ini. 

“Mereka melakukan pembacaan dan pendekatan yang berbeda-beda. Jangan khawatir mereka tidak keluar dari spirit Pancasila, dan tetap cinta NTT, cinta Indonesia,” ungkapnya dalam siaran pers. Pendekatan kritik sosial digunakan lebih dari satu orang, yaitu oleh Yopie “KNIL” Liliweri dengan karyanya Alea Jacta Est yang mengungkap maraknya kasus perdagangan manusia yang menimpa banyak tenaga kerja asal NTT di negeri tetangga. Perupa Apri Manu dengan karyanya Kesunyian memotret perjuangan hidup si tua nan miskin di tengah kota yang terus menggeliat. Dengan karya tapestry Wajah, Pery Patemak melihat kotanya, bahkan negerinya Indonesia terus bersolek, untuk menarik lawan jenis (baca investor) agar mau mengawininya. Karya Jacky Lau (Oyang), Murka Pantai # Demi Mimpi, seperti amuk batinnya atas syahwat pembangunan yang membabi buta telah menghabiskan pantai di kotanya. Lalu menyerahkan semuanya pada penghuni laut. Pendekatan warisan budaya dapat dilihat pada karya Maryam Mukin “Maluk”, yang mengangkat tradisi pesta adat di kampung Saga Flores Timur dengan sudut pandang religiusitas Islam. Karya Aim Pranamantara Tuka Wing (Rahim) yang menjunjung tinggi perempuan. Dalam masyarakat Manggarai, perempuan seperti soko guru bagi sebuah rumah. Karya Fecky Messah Mendayu Bonet yang mengambil ide dari salah satu tarian tradisi Timor Dewan, mementingkan persatuan/ persaudaraan. Karya-karya Fecky yang lainpun sangat kental dengan warisan tradisi, yang dimaknai dengan konteks baru. 

Perupa asal Malang, Tinik Royaniwati yang telah lama menetap di Kupang. Ia menggunakan pendekatan silang budaya Jawa – NTT, antara lain dapat dilihat pada karyanya berupa tarian Tandak Kenoto. Tari penerimaan tamu ini berasal dari daerah Rote, sebagai artefak kultural dua suku bangsa, yang dirawat turun temurun sebagai kekayaan budaya NTT. Sebaliknya karya Ferry Wabang melalui Dalam Ikatan Melanesia hendak mengingatkan pada warga NTT bahwa “kita” punya ikatan dengan ras Melanesia, dan oleh karena itu kenapa orang-orang NTT dan Papua, misalnya, punya ciri-ciri yang sama. Di sana juga ada tali emosi yang tidak mudah dipisahkan. Sedangkan perupa muda Allen Fernandez, dengan karya digital painting berjudul Login, menggunakan pendekatan maupun cara eksekusi kontemporer. Menurut Yusuf, selaras dengan pandangan Heidegger, bahwa karya-karya seni ini sebagai siasat untuk memantapkan, bisa juga mengubah persepsi sehari-hari, dan membukakan kemungkinan-kemungkinan baru dalam menafsirkan kenyataan yang ada. “Aristoles mengingatkan kita, bahwa tujuan seni bukanlah untuk menampilkan tampang luar berbagai hal, melainkan makna batinnya,” ujarnya. 

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page