top of page
  • Vicharius DJ

Festival Film Arkipel Mengangkat Kisah yang Terbuang dan Terasing


Akhir pekan lalu festival film yang rutin diselenggarakan, Arkipel kembali digelar. Tahun ini merupakan penyelenggaraan ke-5 dan Penal Colony menjadi tajuk yang diangkat. Ia merujuk pada konsep tempat pembuangan tahanan politik atau pemukiman terisolir khusus para narapidana. Direktur Aritistik Arkipel 2017, Hafiz Rancajale mengatakan setiap tahun mereka selalu mencari tema yang relavan dalam konteks Indonesia dan internasional. “Dalam setahun terakhir, setelah diskusi panjang di Forum Lenteng dan dengan beberapa kawan, kami menemukan persoalan terkait kriminalitas dan hukum. Lalu muncul istilah penal colony,” katanya.

Istilah penal colony disebut mulai muncul dalam teks-teks karya sejak awal abad ke-20. Salah satunya adalah naskah cerita pendek berbahasa Jerman berjudul In der Strafkolonie, atau In the Penal Colony, tulisan Franz Kafka tahun 1914. Naskah ini telah diadaptasi ke beberapa pertunjukan teater dan film. “Penal colony membayangkan bagaimana hukum bekerja dan sistem diterapkan untuk menjadikan para terpidana teratur. (Penal colony) punya sistem sendiri yang disebut aparatus,” kata Hafiz. Namun istilah ini tidak hanya merujuk ke konsep koloni terpidana. Dunia era pasca-kolonial memberi penal colony konteks lain, yaitu kawasan milik suatu negara yang ditujukan sebagai daerah konsentrasi dengan sistem baru. Misalnya Australia dan Jamaika. Tim Arkipel lantas menelusuri karya-karya film terkait konsep penal colony yang dapat diputar dan dibaca ulang.

“Setahun ini kami menemukan banyak interpretasi ulang terhadap naskah Penal Colony. Ada karya teater yang dikembangkan. Bahkan ada satu film yang terkenal dengan judul sama, The Penal Colony karya sutradara Raoul Ruiz,” ujar Hafiz. Film ini dirilis pada tahun 1970 dan akan diputar di Arkipel 2017 dalam program Kuratorial di kineforum Jakarta pada Minggu 20 Agustus 2017. The Penal Colony dan 84 film lain dari 32 negara akan menjadi sajian Arkipel 2017 yang akan digelar di Jakarta hingga 26 Agustus 2017. Ada sejumlah program pemutaran yang dikelompokkan berdasar tujuan dan subtema. Program Kompetisi menyuguhkan 31 film dari 15 negara yang disaring dari sekitar 1.700-an pendaftar. Lalu ada program Candrawala dengan enam film Indonesia yang tidak lolos program kompetisi, tetapi dinilai penting untuk dibicarakan. Menurut Hafiz, satu hal tak terduga dalam program kompetisi adalah kemunculan sejumlah film dari Afrika. Temuan ini kemudian menjadi salah satu sorotan utama festival. “Dalam studi dan presentasi film di Indonesia, Afrika sepertinya tidak terlalu dibaca. Kebetulan kami punya relasi dengan tokoh dokumenter dari Kamerun (Jean-Marie Teno) dan dia bersedia menunjukkan karya-karyanya. Dia juga mau menjadi juri,” tukas Hafiz. Sementara itu ada dua film asal Indonesia yang lolos seleksi. Film yang pertama ialah Turah karya Wicaksono Wisnu Legowo. Turah berkisah soal masyarakat Kampung Tirang di Tegal yang terisolasi bertahun-tahun dan pada akhirnya malah menimbulkan masalah-masalah lain. Selanjutnya, film Indonesia lainnya yang lolos Kompetisi Internasional ialah Welu de Fasli karya Wahyu Utami dan Ishak Iskandar. Hafiz yang juga menjadi juri kompetisi ini menerangkan bahwa film tersebut merupakan karya yang bagus, layak, dan menarik. 

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page