top of page
  • Vicharius DJ

Merayakan Fase Egaliter dalam Seni Rupa Indonesia


Runtuhnya rezim Orde Baru sebagai musuh seniman dirayakan dengan beragam ekspresi dan bahasa-bahasa rupa baru yang cenderung ringan, meninggalkan gaya subversif, mengelaborasi isu-isu yang relevan dengan realitas keseharian. Periode ini juga ditandai dengan berlanjutnya gejala internasionalisasi perupa Indonesia di jejaring seni rupa regional Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Hal itulah yang ingin dirayakan kembali melalui pameran bersama bertajuk, Resipro(vo)kasi: Praktik Seni Rupa Terlibat di Indonesia Pascareformasi. Bayu Genia Krishbie, kurator pameran mengatakan penyelenggaraan ini bermaksud merepresentasikan kecenderungan praktik seni rupa terlibat dalam kurun waktu pascareformasi hingga sekarang sebagai praktik penciptaan karya alternatif dari dominasi karya individual berbasis studio.

Menurutnya Resipro(vo)kasi dapat dimaknai sebagai "resiprokasi dan provokasi" ataupun "provokasi resiprokal", yaitu metode komunikasi dan pertukaran gagasan dua arah secara egaliter antara perupa dan publik yang berelasi langsung dalam proses penciptaan karya atau peristiwa seni rupa. “Disadari atau tidak, seolah saling memprovokasi satu sama lain,” ujarnya. Munculnya kesadaran perupa pada upaya pelibatan publik atau melibatkan dirinya dengan publik dalam proses kreatifnya itu sendiri bermula dari penolakan terhadap elitisme seni rupa, pengkultusan profesi seniman oleh publik, dan keterasingan yang dibangun antara objek seni rupa dan pengunjung di ruang galeri atau museum. “Eksperimentasi kreatif melibatkan publik secara langsung merupakan salah satu upaya spekulatif memutus keberjarakan ini, meskipun hasilnya bisa jadi justru memunculkan keterasingan baru,” tutur Bayu. Sejumlah 10 perupa individual dan kolektif akan menampilkan 10 karya dengan pendekatan praktik seni rupa terlibat yang beragam baik medium maupun konteks sosialnya. Karya fotografi, instalasi, objek, dokumentasi video, arsip, dan pertunjukan akan dipresentasikan oleh Moelyono (Tulungagung - Yogyakarta), Angki Purbandono (Yogyakarta), Wimo Ambala Bayang (Yogyakarta), Irwan Ahmett (Jakarta), Elia Nurvista (Yogyakarta), Fajar Abadi (Bandung), Vincent Rumahloine (Bandung), Alfiah Rahdini (Bandung), Jatiwangi Art Factory (Majalengka), serta Cut and Rescue (Jakarta). 

Keberagaman pendekatan seni rupa terlibat dan konteks sosial yang dipilih perupa dapat disaksikan pengunjung pada karya Moelyono dan Vincent Rumahloine misalnya, yang praktiknya erat dengan konteks aktivisme seni rupa dalam komunitas. Sedangkan karya Fajar Abadi dan Alfiah Rahdini cenderung ke arah pendekatan seni rupa relasional yang menonjolkan pertemuan intersubjektif antara perupa dan publiknya. Pendekatan berbeda dipilih Irwan Ahmett yang berupaya merefleksikan dan memaknai ulang film G30S PKI karya Arifin C. Noer melalui penuturan Subarkah Hadisarjana, salah satu make up artist film tersebut. Sedangkan dua kolektif perupa, Jatiwangi Art Factory serta Cut and Rescue merepresentasikan praktik-praktik seni rupa terlibat dalam konteks pedesaan dan perkotaan. "Pameran ini merupakan salah satu upaya untuk memperkaya pembacaan atas fenomena praktik seni rupa kontemporer di Indonesia," kata Bayu. Melalui gagasan-gagasan yang ditawarkan perupa dalam beragam konteks sosialnya, diharapkan pameran ini mampu memberikan gambaran umum sejauh mana perupa merespons kondisi sekitarnya, memantik pemikiran kritis publik atas problem-problem sosial kontemporer serta memberikan perspektif yang berbeda dalam memaknai praktik penciptaan karya berbasis proses dan peristiwa sebagai alternatif pengalaman artistik bagi perupa dan pengalaman estetik bagi publik. 

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page