top of page
  • Vicharius DJ

Melihat Jiwa Para Seniman di Jakarta Biennale 2017


Jakarta Biennale 2017 kembali digelar di Gudang Sarinah Ekosistem. Pagelaran seni dua tahunan ini mengundang berbagai seniman dari negara lain untuk tampil hingga 14 November mendatang. Tema `Jiwa` yang diusung Jakarta Biennale 2017 bisa dimaknai sebagai semangat yang terwujud dalam setiap unsur kesenian,sebuah ranah imajinasi dan penciptaan dalam ruang dan waktu. Jiwa sebagai semangat, berarti jiwa sebagai identitas. Pameran Jakarta Biennale tahun ini diadakan di 3 tempat yaitu Gudang Sarinah Ekosistem (GSE), Museum Fatahillah, dan di Museum Seni Rupa dan Keramik di kawasan Kota tua. Pameran ini diikuti 51 seniman yang dipilih oleh tim kurator yang terdiri dari Annisa Gultom, Hendro Wiyanto, Phillippe Pirotte (Frankfurt) dan Vit Havranek (Praha). 

Dalam Jakarta Biennale 2017, sosok dan karya Semsar Siahaan ditampilkan kembali lewat “Menimbang Kembali Sejarah” - bagian khusus yang mengangkat seniman dengan kontribusi khas di dunia seni rupa. Semsar Siahaan yang meninggal dunia pada 2005 adalah ikon utama aktivisme seni di Indonesia. Ia menjadikan karya-karyanya sepenuhnya sebagai bagian dari upaya menyuarakan pembebasan dari ketidakadilan. Sebagai bentuk penghormatan, festival ini memamerkan beberapa karyanya - lukisan, gambar, reproduksi poster, dan sejumlah arsip pribadi, termasuk buku harian yang ia tulis pada 24 Oktober 1998–13 September 2002 ketika berada di luar Indonesia. 

Selain itu terdapat pula sosok Ni Tanjung. Ia mulai dikenal ketika seorang seniman di Bali mendapati “instalasi” karyanya: sebuah gundukan dari batu-batuan vulkanis. Sang seniman kemudian menyediakan bahan pewarna. Dia terus "berkarya" dan namanya lantas membetot perhatian dunia 'art brut' Eropa, melalui seorang ahli museum dari Swiss, Georges Breguet. “Pria ini kemudian memberikan kardus dan gunting kepada Ni Tanjung. Dia juga meminta seorang asisten mengunjungi Ni Tanjung untuk memberikan dukungan dan bahan-bahan yang diperlukan,” tulis kurator dalam situs resmi Jakarta Biennale 2017. 

Pada pembukaannya kemarin, dua perupa kelahiran Irak (kini tinggal di Swiss), Ali Al-Fatlawi dan Wathiq Al-Ameri, menggelar performans berjudul 'Vanishing Borders or Let’s Talk about the Situation in Iraq' (2014) - tentang renungan eksistensialis perihal batas-batas kehidupan dan kematian, serta naluri kehancuran yang memusnahkan semesta unik yang terkandung dalam diri setiap manusia. Dalam karya-karyanya, mereka acap memanfaatkan simbol-simbol perang dan damai – helm militer, mawar merah, patung serdadu plastik yang dibakar selama performans, baju pelampung pengungsi, dan berbagai simbol budaya, seperti karpet Irak yang menandai asal mereka. 

#jakartabiennale

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page