top of page
  • Vicharius DJ

Bahasa Simbol Terhadap Kontruksi Sosial tentang Perempuan


Marsinah, Aida, Larasati mereka adalah sosok-sosok perempuan yang pernah menjadi sorotan di negeri ini. Nama mereka tertulis dengan kapur di atas triplek bewarna hitam pekat. Ia lalu tertutupi kanvas putih yang menjadi target senapan di depannya. Titis Jabaruddin memberi judul karya instalasi itu dengan tajuk Target.

Pada karya lain, Titis menyajikan gambar dengan medim pastel yang ia lukis di atas kertas ukuran 55 x 75 cm. Gambar itu berisi sosok penjual jamu gendong yang dicitrakan sangat gagah meski kesan feminim tidak hilang karena goresan warna merah muda, kuning muda, dan biru muda yang mewarnainya. Pada karya itu Titis menamakannya Berangkat Subuh 2.

Dua karya Titis merupakan bagian dari pameran Artpression 16 Perempuan Memandang Dunia di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki. Sesuai judulnya, ada 16 karya perupa perempuan yang tampil. Mereka berbicara tentang eksistensi dan situasi perempuan di masa kini lewat berbagai medium seni rupa. Pameran ini digelar 8-20 Januari 2018.

Perupa lain, Ary Okta menyajikan karya instalasi berjudul Berkata Apa. Ary menaruh kandang ayam berbentuk bulat dengan jerami yang berserakan. Di antara kandang, Ary menaruh sejumlah patung ayam berwarna-warni yang terbuat dari limbah kertas. Ary menulis di papan tulis hitam kalimat yang berbunyi, “ketika kebebasan berkata-kata, tidak lagi dikurung, tidak lagi dikungkung, maka berkata-katalah yang baik, yang membuat hidup kita menjadi lebih baik”.

Meski kental dengan citra perempuan, tak semua karya di sini menyajikan obyek perempuan. Perupa Reny Alwi misalnya. Ia malah membuat lukisan dengan objek pria berjudul Tugas Penting. Dengan memakai medium akrilik di atas kanvas berukuran 80x90 cm, Reny melukis seorang pria yang sedang menggendong sambil menyuapi bocah laki-laki.

Pada catatan pengantar yang ditulis Yenti Nurhidayat disebutkan, dalam banyak kebudayaan dunia, perempuan kerap ditempatkan dalam posisi subordinat. Budaya patriarki yang begitu kuat melekat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan secara sistematis menafikan kehadiran perempuan sebagai individu yang berdaulat atas tubuh dan keinginannya. Peran sosial dan reproduksi yang dibebankan di pundak perempuan menyebabkan perempuan memiliki pengalaman sosial dan spiritual yang berbeda dengan laki-laki.

Perbedaan ini, kata Yenti, kemudian menyebabkan perbedaan cara pandang perempuan dalam memandang dunia dan dirinya sendiri. Cara pandang ini terlihat dari karya yang mereka kreasikan untuk pameran Artpression 16 Perempuan Memandang Dunia. Namun, di dalam dunia yang bias, pengalaman sosial dan spiritual para perempuan perupa ini cenderung tidak diakui.

“Pengalaman emosional dan spiritual seperti ditempatkan dalam posisi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil kajian dan riset. Padahal, pengalaman emosional dan spiritual perempuan merupakan bentuk kajian dan riset sepanjang hidup perempuan,” tutur Yenti.

Sementara itu, kurator Puguh Warudju mengungkapkan, lukisan tak ubahnya sebuah studi, karya-karya mereka merupakan refleksi tentang apa yang terjadi di sekelilingnya. Alhasil, karya seni juga bersifat kritik dan upaya elaboratif terhadap konsep dan praktik konstruksi sosial.

Kemasan semiotika visual yang digarap dengan pengalaman estetik dan kreatif para perupa itu, kata Puguh, benang merahnya adalah percikan-percikan penyuaraan dari bahasa hati masing-masing. “Bahasa simbol, selain menikmatkan indrawi, ia juga lebih halus akan mempertajam dan serta-merta memperhalus jiwa. Namun, bahasa simbol bisa juga menjadi arus teror yang meluluhlantakan jiwa dan membangun keindahan sosial,” ujar Puguh. 

#TitisJabaruddin

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page