top of page
  • Vicharius DJ

Inilah Representasi Indonesia di Ajang Venice Art Biennale 2019


Indonesia kembali melibatkan diri dalam ajang Venice Art Biennale 2019 yang diadakan Mei hingga November tahun depan. Namun kali ini perwakilan Indonesia buka hanya satu seniman melainkan tim artistik yang diseleksi oleh dewan juri sejak Februari lalu. Tim terpilih itu terdiri dari kurator Asmudjo Jono Irianto, co-curator Yacobus Ari Respati, dan seniman Handiwirman Saputra dan Syagini Ratna Wulan.

Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (Bekraf), pekan ini  resmi mengumumkan representasi Indonesia terpilih yang akan tampil dalam Venice Art Biennale 2019. Setelah melalui proses kurasi yang ketat, proyek karya seni yang akan ditampilkan dalam ajang dua tahunan dunia paling bergengsi ini ialah instalasi seni interaktif bertajuk “Akal Tak Sekali Datang, Runding Tak Sekali Tiba. 

Tim ini bakal memamerkan karya seninya pada area booth Indonesia Pavilion berukuran 340 m² di Kawasan Arsenale, Venice. Area booth tersebut jauh lebih besar, meningkat 4x lipat dari tahun sebelumnya yang hanya seluas 70 m². 

Menurut Asmudjo Jono, timnya akan menampilkan 400 loker interaktif, yang masing-masing menceritakan sejarah dan budaya lokal Indonesia. Mereka ingin menyajikan pengalaman istimewa kepada setiap pengunjung, dimana mereka bisa menyaksikannya dalam sebuah wahana seni yang interaktif.

“Ini adalah cara kami untuk menginterpretasi adegan seni dalam geliat permainan politik dan sosial ekonomi yang terjadi terus menerus,” ungkap Asmudjo.

Di karya kedua, nantinya bakal ada mini bianglala miring berdiameter 6 meter. Mereka menganggap praktik seni rupa adalah permainan dan politik antar negara, di situ terus menerus berputar. Seperti wahana yang bisa dinaiki penonton. Sementara karya ke tiga lebih subversif dengan menghadirkan bentuk ruang merokok dan non-merokok. Serta satu agenda lokal yang direncanakan berlangsung di kota Cirebon serta dibantu oleh kelompok Jatiwangi Art Factory.

Dolorosa Sinaga, Ketua Juri yang juga pematung mengatakan, kekuatan proposal tim ini terletak pada gagasan untuk melakukan refleksi kritis atas seni rupa kontemporer global, permainan kepentingan para pelakunya yang mencakup politik dan sosial, ekonomi, serta persepsi publik umum terhadapnya. 

Area fokus yang juga menjadi dasar penilaian dalam proses seleksi ini ialah gagasan inovasi dalam seni kontemporer, eksekusi visual yang menarik, kerja sama tim yang kolaboratif, kelayakan karya seni kontemporer untuk ditampilkan ke ranah internasional, hingga kemampuan tim untuk mewujudkan karya sesuai dengan proposal yang diajukan.

Seleksi ini juga melibatkan juri lain, di antaranya kurator Nirwan Dewanto; dan akademisi I Bambang Sugiharto, Jim Supangkat, dan St. Sunardi. Menurut Jim, juri tidak lagi menampilkan satu seniman untuk mempromosikan karyanya di biennale. Karenanya, tidak seperti tahun sebelumnya, setiap finalis akan hadir dalam bentuk tim untuk berdiskusi dan mengelaborasikan citra Indonesia secara utuh dalam rana seni kontemporer.

“Dengan cara ini, kami harap bisa mempromosikan Indonesia secara menyeluruh, dengan potensinya yang terus berkembang di era seni kontomporer yang terus bertumbuh,” ujarnya.

Selain Akal Tak Sekali Datang, Runding Tak Sekali Tiba, kelima juri juga memilih proposal instalasi Synthetic Estate, sebuah proyek seni interaktif bertajuk teknologi, hasil inisiatif kelompok seniman TROMARAMA, seniman Riar Rizaldi dan Natasha Gabriella Tontey, serta kurator Bob Edrian Triadi. 

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page