- Vicharius DJ
Festival Bebas Batas, Pembuktian Mereka yang Melewati Batas
Seni adalah bahasa yang universal. Itu artinya seni juga harus bisa diterima dan dilakukan oleh mereka yang berkebutuhan khusus (people with special need). Pesan inilah yang ingin disampaikan dalam Festival Bebas Batas, sebuah agenda yang memberikan ruang bagi mereka yang selalu dibatasi ruang geraknya hanya karena kekurangan fisik dan mental.
Festival ini terselenggara cukup lama, yakni hingga 29 Oktober mendatang. Di pameran utama bertajuk, Pokok di Ambang Batas terdapat 35 karya hasil seleksi, 10 seniman undangan dan koleksi Borderless Art Museum No-Ma Jepang, serta karya dari hasil workshop 5 RSJ di Indonesia.

Hana Madness, pendiri Art Brut yang mendukung penyelenggaraan Festival Bebas Batas mengatakan di Indonesia seni dan disabilitas kerap masih mendapatkan 'label' maupun stereotip tertentu. Festival Bebas Batas pun mencoba untuk mengubah persepsi tersebut.
“Orang-orang melihat teman-teman disabilitas karena tangan atau kaki cuma satu, ada yang gangguan kejiwaan. Dengan pameran ini gue berharap masyarakat sudah tidak lagi memikirkan label mereka dan pure mengapresiasi karya seninya,” ujar Hana.

Hana sendiri pernah divonis menderita bipolar dan skizofrenia. Tahun 2016 lalu ia mengikuti Unlimited Festival di London. Festival seni dan disabilitas yang digelar dua tahunan di Inggris itu mengajak seniman-seniman dengan kebutuhan khusus untuk berkolaborasi bersama.
“Harapannya Festival Bebas Batas akan seperti itu, dan aku merasa ini menjadi gerbang utama untuk festival seni dan disabilitas lainnya di Indonesia. Mungkin kami belum sampai seperti Unlimited Festival di London, tapi kayaknya Bebas Batas bakal roadshow ke beberapa kota,” lanjutnya.
Sementara itu Sudjud Dartanto, kurator pameran mengatakan seluruh karya para seniman di pameran utama punya beragam ekspresi. Menurutnya karya itu melampaui batas, dalam arti yang sifatnya struktural. “Kita melihat ada banyak ekspresi, simbol yang cukup kuat, spontan, dan lugas. Karya-karyanya itu sendiri beyond borders,” tutur Sudjud.

Ia mencontohkan dua lukisan Edo Adityo asal Madiun yang berjudul 'Monalisa Angel' dan 'Seribu Malaikat'. Keluarga di lingkungannya menyebut Edo adalah indigo, kalau menurut medis adalah skizofrenia. Tapi betul dia melihat malaikat apa yang digambar benar yang dilihat. “Figur-figur Hana Madness juga bentuk yang memang dia lihat dalam imajinasinya,” katanya.
Lukisan lainnya yang dipamerkan juga berasal dari berbagai RSJ, salah satunya dari Solo. Ada satu lukisan bergambar gunung, bulan berwarna merah, dan ada satu batu di tengahnya. Sekilas lukisannya menggambarkan simbol tertentu, namun menurut Hana yang menjadi mentor bagi pelukisnya, itu adalah kuaci dan bukan batu.
“Saat ditanya, itu batu apa, dia bilang kuaci. Nggak tahu kenapa kuaci, tapi mungkin persepsi kita yang melihatnya harus diubah,” tukasnya.