top of page
  • Vicharius DJ

Flying Cow, Tarian yang Membangun Imajinasi


Pada panggung Salihara, cahaya terang lampu menyorot tajam. Sebuah bingkai yang terbuat dari pipa plastik terpasang di tengahnya. Tak lama seorang perempuan menarik di dekat bingkat itu sambil memegang sarung tangan plastik. Entah apa maksudnya ketika perempuan itu meniup sarung tangan seakan-akan itu adalah balon. Tak berhenti di situ, ia menempelkan sarung tangan itu ke bingkai. Adegan itu lucu karena mampu membuat penonton tertawa. “Itu sapi!” seru seorang anak yang duduk di depan. Imajinasi menjadi lebih jelas ketika perempuan itu menempelkan kain putih dengan bercak hitam di bingkai. Jelas, itu seperti kulit sapi. Ia kemudian mengayunkan sapi itu ke udara. “Sapi terbang!” teriak seorang anak lagi. 

Adegan tadi merupakan bagian pertunjukan Flying Cow, sebuah pertunjukan tarian yang dibawakan dengan apik oleh De Stilte. Mereka merupakan kelompok tari Belanda yang berfokus sepenuhnya pada pengembangan produksi untuk anak-anak sejak 1994 dimulai di Breda, Belanda. Pusat kebudayaan Belanda Erasmus Huis mengundang De Stilte untuk tampil di panggung Salihara pertengahan Januari kemarin. “Orang-orang di sini luar biasa!” kata Tessa Wouters, salah satu penari rombongan De Stilte. “Ada banyak penonton dan semua orang sangat antusias serta merasa sangat dekat dengan kami. Saya melihat pertunjukan ini sebagai duet antara penonton dan pemain, ” tambahnya. 

Dengan koreografi yang menyenangkan dan alur cerita yang unik, Flying Cow tampaknya menyampaikan satu poin penting yang cenderung dilupakan kebanyakan orang dewasa: Anak-anak tidak membutuhkan mainan mewah untuk menciptakan imajinasi yang indah. Pertunjukan ini menyajikan tiga penari yang berperan sebagai anak-anak. Mereka menggunakan imajinasi untuk membuat mainan benda-benda sederhana, seperti telur, ember, pipa, kandang ayam, bulu, dan daun. “Bekerja dengan alat peraga sangat sulit. Terkadang ada yang salah, dan setiap pertunjukan berbeda. Telur-telur bergulung secara berbeda di setiap pertunjukan,” kata penari Gianmarco Stefanelli. 

Selain karakter dengan perasaan gembira dan antusiasme anak yang bermain-main, para penari ini juga harus menunjukkan karakter cemburu yang sering muncul dalam persahabatan. “Anak-anak yang menonton dapat mengenali hal-hal ini dari kehidupan sehari-hari mereka. Salah satu contohnya adalah sulit untuk bermain dengan tiga orang, karena satu orang terkadang merasa ditinggalkan,” kata Tessa. Dalam satu adegan, seorang penari membuka mulutnya untuk mengeluarkan telur di dalamnya, sementara di adegan lain seorang penari muncul dari bawah panggung, merobek kain yang telah diletakkan di atas panggung. “Kami ingin audiens berpikir sendiri untuk menafsirkan apa yang mereka lihat. Ada tiga karakter, dan ada banyak citra, tetapi tidak ada cerita, jadi penonton sangat bebas untuk menciptakan pengalaman mereka sendiri melalui fantasi mereka,” kata Gianmarco. 

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page