top of page
  • Vicharius DJ

Hari-hari di Cicadas, Pelukis Legendaris Jeihan Berbagi Kisah Domisili


Pelukis legendaris Indonesa Jeihan Sukmantoro menampilkan lukisan-lukisan lamanya yang sebagian besar belum pernah dipamerkan. 30 lukisan yang ia buat selama tinggal di Cicadas pada 1965-1981 kini menghiasi “Pameran Lukisan Jeihan: Hari-hari di Cicadas” yang digelar di Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN) Jakarta pada 26 Maret – 26 Mei 2019. 

Apa yang istimewa? Jeihan banyak melukis orang-orang di sekitar rumahnya selama tinggal di Cicadas, sebuah kawasan di daerah bandung Timur. Karya-karya lukisannya menggambarkan dia sendiri sebagai perupa, anggota keluarganya dan orang-orang di sekitar tempat tinggalnya. Karyanya merekam kehangatan kekeluargaan. Jeihan mengenang, ”Mereka sering datang ke rumah saya karena keluarga kami memiliki televisi pada saat itu.” Dari segala tindak-tanduk orang-orang di sekeliling tempat tinggalnya, Jeihan mendapat banyak inspirasi untuk berkarya. Manusia itu unik dengan kepribadian dan karakternya. 

Perupa berusia 81 tahun ini memang dikenal dengan lukisan-lukisannya yang menggambarkan objek manusia. Dia tak menutup mata dengan dinamisme lingkungan sekitar. Lukisan-lukisannya pada pameran ini secara sederhana ingin menghadirkan suasana Cicadas dalam memori Jeihan di masa kini. Dia ingin merefleksikan spiritualitas diri dan kondisi masyarakat yang terus mengalami perubahan besar. Salah satu lukisan menampilkan “mata yang dihitamkan”. Karya ini dibuat sebagai respon pribadi terhadap pergolakan sosial dan politik di Indonesia pada awal 1960-an. Gambaran warna hitam yang menutupi mata menunjukkan keprihatinannya saat itu terhadap masa depan bangsa yang tak menentu. 

Selain itu, beberapa puisi Jeihan pun ditampilkan dalam pameran ini. Keindahan karya seninya pun menjadi semakin lengkap. Dalam perjalanannya, Jeihan memang dikenal juga dalam lingkaran pujangga di Cicadas yang berkeksperimen dengan puisi konkret. Sebuah gaya puisi yang tak lagi terpaku pada aturan tata bahasa karena lebih mementingkan tipografi dan komposisi visual. Baginya, puisi tak lagi terkekang oleh standar bahasa metafora. Pada 1971, Jeihan bersama rekan pujangga lainnya mencetuskan istilah puisi Mbeling (puisi nakal) untuk mendefinisikan gerakan sastra mereka. Puisi-puisi itu kini dapat dinikmati khalayak pula ketika menyambangi pameran ini. Pameran Lukisan Jeihan: Hari-hari di Cicadas sukses merekam sebuah kisah domisili Jeihan dalam paduan visual dan sastra yang memberikan banyak kesan. 

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page