top of page
  • Vicharius DJ

Ketika Tayangan Sinema Tak Sekedar Hiburan


Pernahkah Anda mendengar tentang filem berita? Ya, ia merupakan satu jenis filem yang memiliki sejarah panjang di Indonesia. Tepatnya dimulai sejak pemerintahan militer Jepang berkuasa di Indonesia, rentang 1942-1945. Masa itu, para pendiri sinema Indonesia mengasah pengetahuan produksi filem, serta gagasan dan fungsi sinema yang tidak sekadar bernilai hiburan, tetapi juga mengkonstruksi cita-cita identitas bersama. Pasca Konfrensi Meja Bundar (KMB) Perusahaan Film Negara (PFN) mulai memproduksi filem berita Gelora Indonesia. Gelora Indonesia menjadi semacam ‘catatan harian pemerintah’ yang memperlihatkan perkembangan Indonesia sejak 5 Januari 1951 hingga berakhir di tahun 1976, lalu digantikan Gelora Pembangunan di masa Orde Baru. Kultursinema, pameran sejarah sinema Indonesia pada 2019 memasuki usia ke enam, kembali hadir dengan tajuk, Kutursinema #6: Gelora Indonesia. Bertempat di Museum Nasional Jakarta, Gelora Indonesia akan menghadirkan rentang peristiwa 'nasional' yang terjadi pada 1951-1976, serta melibatkan enam kurator yang akan membaca ulang isu-isu sosial dan subyek di arsip filem tersebut. 

Pertama adalah Luthfan Nur Rochman. Ia mencoba melihat bagaimana aktualitas peristiwa dan teknifikasi peliputan, proses yang berlangsung dalam pemilihan sudut kamera, dekupase, dan montase Gelora Indonesia yang melibatkan pengendapan konstruksi agung dan juga instruksi dari penguasa saat itu, serta bagaimana anonimitas kru dalam Gelora Indonesia ini menjadi hal yang memberikan ketegangan baru untuk melihat adakah kepengarangan dalam Gelora Indonesia. Lalu ada Wilujeng yang Putri mencoba mengidentifikasi dan membandingkan dua jenis massa yang ada dalam Gelora Indonesia. Keberadaan massa homogen di Gelora Indonesia merupakan usaha untuk membuat penonton percaya bahwa negara Indonesia, beserta seluruh komponennya adalah suatu negara yang sedang berjalan menuju kesempurnaan. Ketiga ada Wahyu Budiman Dasta. Ia akan fokus membahas bagaimana peranan negara dalam sikap politis dalam bentuk olahraga yang terdapat di siaran Gelora Indonesia. Keempat, Afrian Purnama yang mencoba untuk melihat bagaimana pola transisi dalam Gelora Indonesia yang lebih bertindak sebagai jembatan ketimbang pemisah. Selain menjembatani peristiwa satu dengan lainnya, transisi juga menjadi titian antara kognisi penonton dengan konten utama dari Gelora Indonesia. 

Kurator lain, Dini Adanurani mencoba melihat segmen Dunia Wanita dan segmen-segmen lainnya di Gelora Indonesia dengan pembahasan tentang perempuan yang diasosiasikan dengan subjek yang estetis, yakni kecantikan, peragaan busana, dan perawatan kebun. Yang terakhir, Robby Ocktavian mencoba melihat bagaimana isu pembangunan dan pengembangan teknologi menjadi salah satu isu global yang penting menjelang, saat, dan pasca Perang Dingin. Kultursinema #6: Gelora Indonesia merupakan bagian dari penyelenggaraan ARKIPEL – Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival 2019. Tahun ini mereka mengambil tajuk, Bromocorah. Secara harafiah Bromocorah diartikan sebagai preman, penjahat, atau bajingan. 

Dalam tema ini Bromocorah dikhususkan mengacu pada fenomena sosial di Indonesia sejak era pra-kemerdekaan sampai hari ini. Peran para bromocorah sangat signifikan di tanah air dalam membentuk kedinamisan sosial dari berbagai aspek seperti, agama, relativitas hukum, jaringan politik, kebudayaan, kesejahteraan sosial, dan media masa. Bukan hanya pameran sinema, dalam Bromocorah terdapat berbagai program yang spesial mulai pemutaran 28 filem dari 19 negara yang terpilih dari 1200 filem, karya film dari Robert Bresson, yang berjudul L’Argent (1983), sampai penayangan tiga filem karya Sardono W. Kusumo. 

Total karya yang akan tayang dalam festival ini adalah 51 filem dari 33 negara. 28 filem di antaranya termasuk dalam program Kompetisi Internasional. Tahun ini juga terdapat 2 filem produksi Indonesia yang lolos ke dalam program tersebut, untuk dinilai oleh empat orang Juri, yaitu Hafiz (Indonesia), Mahardika Yudha (Indonesia), Akbar Yumni (Indonesia), dan Scott Miller Berry (Kanada). Seluruh program penayangan film terbuka untuk umum dan gratis. Anda bisa menyaksikannya hingga 26 Agustus mendatang di dua tempat berbeda; Goethe Institut dan Museum Nasional.     

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page