top of page
  • Vicharius DJ

Karya Instalasi Para Penanggap Laju


Di satu sudut ruang Galeri Salihara, 10 bola berbentuk bulat sempurna dijejerkan dengan rapih. Sekilas ia mirip kristal namun memiliki warna yang tak sama. Ada yang berwarna bening, ada yang kekuningan, hijau, hingga hitam menyerupai warna air selokan. Andrita Yuniza adalah seniman yang membuatnya. Ia punya pesan khusus mengapa bola-bola itu memiliki warna berbeda. Warna yang berbeda itu melambangkan setiap warna yang ada di sungai di Jawa Barat. Butuh 14 hari bagi Andrita untuk melakukan risetnya, mendatangi setiap bentangan sungai. Mulai Citarum, Citarik, Cikapundung, hingga Cigondewah. “Misalnya Sungai Citarum agak hijau, ada juga sungai yang warnanya cokelat, kuning, ada juga yang sudah kena limbah tekstil,” katanya. 

Ia menamani karya instalasi itu Mooi Indie 21st Century, salah satu pemenang dari kompetisi Karya Trimatra 2019 yang diadakan Salihara. Kontradiksi antara gaya Mooi Indie dan isu yang diangkat Andrita memang ironi. Menurutnya, seharusnya gaya Mooi Indie yang menampilkan keindahan alam terlihat dalam lingkungan yang sebenarnya. Dengan menyentil isu lingkungan, Andrita ingin membawa persoalan tersebut ke ranah publik. Namun mengkritik yang beretika dan terkesan 'lembut' yaitu lewat karya seni. “Cantiknya alam dan lingkungan Indonesia itu kan fakta zaman dulu ya. Nyatanya sekarang semua nggak elok, sungainya, lautnya, relasi bangunannya nggak baik,” ujarnya. 

Karya milik Andrita saat ini terpajang di Salihara bersama karya finalis lain di pameran bersama, Speed/Laju. Tahun ini para juri memilih instalasi milik Wildan Indra Sugara berjudul, Nothing Here sebagai pemenangnya. Karya tersebut dinilai mengungguli karya-karya lain. Penggunaan media baru menunjukkan keluasan wawasan dalam mengikuti perkembangan global di praktik seni rupa masa kini. “Instalasi Nothing Here menggugah rasa ingin tahu, menguji kesabaran, mengusik rasa ingin tahu dan bermain dengan penuh humor apa yang menjadi pusat dari budaya visual yaitu televisi,” kata salah satu dewan juri, Heri Pemad. 

Sementara tempat ke tiga adalah Ardya Dhyaksa lewat Anthropoid Smartstone berada di posisi ketiga. Ia menggunakan media konvensional keramik namun digambarkan secara kontemporer. “Kami bertengkar yang hangat. Saking hangatnya jadi sengit. Penjurian Karya Trimatra Salihara melalui penilaian proposal anonim. Di tahap kedua, dewan juri menilai membaca buta tanpa melihat nama untuk menghilangkan favoritisme,” tutur Heri. 

Pameran pemenang dan finalis Kompetisi Karya Trimatra masih berlangsung di Salihara hingga 28 September mendatang.     

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page