top of page
  • Vicharius DJ

Egaliter dan Keberagaman dalam Pameran Japuik Tabao


Pameran seni rupa Japuik Tabao kembali hadir untuk ketiga kalinya. Tahun ini ia hadir dengan corak yang lebih beragam. Pada dua pameran sebelumnya, Japuik Tabao hanya melibatkan seniman dari Padang Panjang, Yogyakarta, dan Bali. Namun di pameran kali ini, seniman dari kota-kota lain pun diundang. Totalnya ada 77 seniman. Japuik Tabao yang ketiga mengambil tajuk, Ngumpulke Balung Pisah. Dalam bahasa jawa tema ini bermakna mengumpulkan kembali tulang belulang yang terpisah. Kalimat itu bisa diinterpretasikan sebagai upaya reuni atau mungkin upaya untuk kembali Bersatu. Japuik Tabao sendiri merupakan ungkapan bahasa minang yang berarti Menjemput Kehadiran. 

Jadi, secara terminologi pun pameran ini sudah sarat makna keragaman. 78 seniman yang ikut berpartisipasi berasal dari aliran seni rupa yang berbeda-beda. Mungkin inilah salah satu wujud dari ungkapan, Ngumpulke Balung Pisah tadi. Pada pertengahan pekan lalu, Hanifah Komala seorang kolektor lukisan yang berkecimpung di dunia seni rupa sejak 1990 membuka pameran ini. Ia berkenalan dengan beberapa seniman, termasuk Stefan Buana, penggagas pameran ini. 

Stefan Buana dari Barak Seni mengatakan, kegiatan pameran seni rupa dan film lintas etnis ini terinspirasi dari budaya Suku Minang yang terbiasa “membumi” di manapun perantauannya. Budaya Minang, bagi Stefan, sangat egaliter karena secara kental, khas dengan penghormatan pada perbedaan pendapat. “Lewat Japuik Tabao, kami akan sampaikan tentang indahnya perbedaan, keberagaman di tanah air tercinta ini,” ungkapnya. Pertemuan 77 seniman di pentas pameran ini ini didasari atas pertemuan karya. Keberadaan mereka ditandai dengan pameran seni rupa bersama yang menghadirkan karya-karya dari seniman yang disebut lintas etnis atau lintas budaya yang terdiri dari Aceh, Minang, Jakarta, Yogyakarta, Riau, Surabaya, Bali, Manado, Banten, Kalimantan dan Papua. Para seniman itu menjadi gambaran keragaman etnis dan budaya di Indonesia. 

Keberagaman ini pula yang ditangkap oleh Efix Mulyadi, kurator Bentara Budaya, ketika melihat puluhan karya rupa seniman dalam pameran ini. “Bentara Budaya dengan tangan terbuka ikut memfasilitasi pameran ini, dengan harapan agar keberagaman seni budaya benar-benar tumbuh dan mewujud di seantero wilayah Indonesia,” katanya. Ide untuk bergerak melintasi berbagai wilayah dan mengajak berbagai identitas ini dimotori terutama oleh para seniman di Barak Seni Yogyakarta, studio milik Stefan Buana. Dari studio ini para seniman merumuskan gagasan untuk menggulirkan acara-acara yang bertemakan kebersamaan. 

Mereka menilai, sebagai bangsa yang besar, para pelaku seni perlu untuk mengabarkan dan menyebarkan semangat kebersamaan dalam membangun bangsa. Japuik Tabao adalah gerakan organik yang bertumbuh, berangkat dari niat baik untuk merajut keberagaman negeri, menumbuhkan semangat bersama untuk membentuk gambaran Indonesia yang beraneka warna, indah dan terbuka. Dari awal penyelenggaraannya di tahun 2016, pameran ini dimaksudkan sebagai ajang bertemunya seniman-seniman yang memiliki latar belakang etnis dan budaya yang berbeda. Di dalam catatannya, Stefan menekankan pentingnya seniman untuk menampilkan keberagaman budaya Indonesia sehingga masyarakat luas dapat menghargai setiap perbedaan yang tampak dalam suatu karya. Pameran ini masih terbuka untuk publik di Bentara Budaya Jakarta hingga 19 Oktober mendatang.   

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page