top of page
  • Vicharius DJ

LIFEs 2019, Membangun Ruang Sejarah Bersama


Ketika Timor Leste memutuskan untuk berpisah dengan Indonesia menyisakan cerita kelam bagi penduduk di dua negara, terlebih mereka yang tinggal di wilayah perbatasan. Felix K Nesi, berhasil menceritakan kisah itu dalam rangkaian tulisan fiksi berjudul Orang-Orang Oetimu yang berhasil memenangkan sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta pada 2018 lalu. Cerita tentang orang Timor dalam novelnya seakan sinergis dengan hasil story photo milik fotografer Belanda keturunan Timor, Armando Ello. Mereka akan menceritakan kisah keluarga Timor dan Rote di luar sudut pandang yang kita ketahui dari sejarah Timor. Kolaborasi mereka berdua bisa disaksikan di pameran foto dan instalasi dengan tema My Story, Shared History. Pameran ini merupakan bagian dari kegiatan Literature and Ideas Festival (LIFEs) atau Festival Sastra dan Gagasan 2019 yang diselenggarakan komunitas Salihara. 

Direktur Festival, Ayu Utami mengatakan festival tahun ini mengajak penulis dan pembaca merayakan keragaman cerita individu dalam rangka mengisi ruang-ruang kosong dalam sejarah besar bangsa dan antar bangsa. Melalui hal-hal tersebut festival ini hendak menawarkan aspek edukasi sastra untuk generasi muda yang diwujudkan melalui kolaborasi seniman Indonesia dan seniman keturunan Indo-Belanda. Selain Felix K. Nesi dan Armando Ello, masih ada banyak penampilan kolaboratif berlatar sejarah kolonial mengenai pencarian identitas, cerita keluarga (leluhur) dan personal yang tak kalah menarik dibanding narasi besar sejarah. Menurut Ayu, kolaborasi penulis Indonesia dan seniman Indo-Belanda yang menawarkan micro-history ini adalah langkah awal memulai penulisan sejarah yang lebih inklusif. “Bersama para seniman yang berkolaborasi tersebut kita juga akan mendiskusikan hal-hal seperti bagaimana menceritakan kisah keluarga dengan menarik? Bagaimana menempatkan kisah fiksi di dalam fakta? Sampai bagaimana mementaskan arsip dan dokumentasi sejarah, supaya dapat diterima oleh generasi muda?,” katanya. 

Selain pameran, selama sepekan sejak dibukanya pada 13 Oktober lalu, kegiatan festival meliputi kompetisi Debat Sastra tingkat SMA, yang mengajak para pelajar membandingkan dua karya sastra dari penulis Indonesia dan Belanda. “Untuk aspek pendidikan ini kami juga menyelenggarakan workshop dan peluncuran animasi Peta Sastra Kebangsaan untuk memperkenalkan sastra kepada generasi muda dengan cara yang lebih kekinian,” jelasnya. Selain itu, LIFEs 2019 juga menghadirkan Starry, Story Night, pembacaan karya oleh bintang sastra generasi muda hari ini. Penampilan grup musik puisi Poétique Ensemble yang ekspresif asal Prancis. Serta pembacaan naskah tentang isu ekonomi pada akhir 1990-an oleh Indonesia Dramatic Reading Festival (Yogyakarta). 

Ayu menjelaskan LIFEs hendak memberi ruang luas pada keragaman cerita dan membikin sejarah menjadi lebih menarik, sehingga masyarakat pun tidak perlu berkelahi karena perbedaan versi sejarah. “Pemahaman sejarah yang berawal dari kisah pribadi atau keluarga punya tujuan untuk membangun sikap yang lebih terbuka sekaligus kokoh dalam menerima perbedaan, keragaman, serta saling memperkaya wawasan dan perspektif kita,” imbuhnya. Sejumlah acara di LIFEs 2019 bekerja sama dengan Dutch Culture dan Indisch Herinneringscentrum yang mendukung pertukaran seniman Indonesia-Belanda, sehingga pelbagai pertunjukan kolaborasi di LIFEs 2019 bisa tercipta. LIFEs berlangsung selama 12-20 Oktober 2019 di Komunitas Salihara.     

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page