top of page
  • Vicharius DJ

Lima Jalan Seniman Kontemporer Merespons Keresahan Publik


Tantangan masyarakat global hari ini semakin jelas dan berat. Beragam fenomena sering bermunculan seakan jadi petunjuk akan adanya sebuah evolusi dalam ruang lingkup kehidupan. Di dunia seni, karya para seniman biasanya lahir untuk juga mengingatkan publik tentang permasalahan dan bagaimana mengatasinya. Di Indonesia atau mungkin juga di negara lain tantangan yang mulai terlihat terwujud pada krisis energi, ancaman ekologis, perubahan iklim, dan revolusi industri sains bernama Industri 4.0. Lima seniman lokal dan internasional pun berkolaborasi untuk merespon hal itu melalui karya seni media baru dalam pameran bertajuk Five Passages to the Future. 

Pameran yang berlangsung di Galeri Nasional hingga 7 November mendatang tersebut dikuratori lima perempuan. Sesuatu yang unik dan menarik perhatian, bukan? Mereka terdiri dari beragam profesi seperti manajer seni, seniman, edukator, penulis, dan peneliti. Irene Agrivine salah satu kurator mengatakan, pameran ini menyuguhkan bagaimana upaya kreatif dari seni media baru mampu berkontribusi dalam kehidupan manusia. Setiap kurator mengajukan lima pendekatan mutakhir di isu-isu ekopolitik, keberlangsungan, kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI), naratif digital, dan teknologi pakai. Irene sendiri berkolaborasi dengan Eva Bubla. Karya mereka berangkat dari sebuah pertanyaan “Bagaimana manusia bisa mencapai kehidupan yang berkelanjutan di bumi?” Dengan karya bertajuk Designated Breathing Zone, mereka mencoba mengambil isu polusi yang tidak hanya menghantui masyarakat kota, dan juga pedesaan. 

Mengambil inspirasi dari laporan NASA 1989, yang melakukan penelitian pada tanaman Sansevieria atau dikenal dengan nama Lidah Mertua di Indonesia, untuk berefleksi secara kritis tentang polusi udara. “Instalasi ini mengundang audiens untuk menghirup udara yang disaring dari tanaman lidah mertua yang diinkubasi,” terang Irene. Lalu karya lain yang dikuratori Evelyn Huang juga berangkat dari sebuah pertanyaan sederhana, “Jika manusia dan alam adalah komponen yang setara dalam masyarakat, bagaimana mereka bisa hidup berdampingan?” Dari situlah gagasanya bisa dilihat melalui kolaborasi dengan seniman Digital Native, Sarah Jane dan Miebi Sikoki dalam karya bertajuk The Commons: Monoculture. 

Karya ini mencoba membayangkan, bagaimana di masa depan nanti industri agrikultur terus mengabaikan kesehatan ekosistem guna memenuhi tuntutan populasi yang berkembang. Manusia saat ini sudah merasakan dampaknya pada asap yang dihirup dan iklim yang tidak lagi bisa diprediksi. Melalui pameran “hidup” yang terinspirasi dari Katingan Mentaya Project ini, seniman mengundang pengunjung untuk berinteraksi dengan alam. Caranya, dengan mendengar fluktuasi musik, merevitalisasi tumbuhan dengan sensor yang mempengaruhi tingkatan cahaya dan jatuhnya embun, serta mengajak penikmat seni untuk lebih peka terhadap respons mereka. Lanjut ke pertanyaan berikutnya, “Apa peran manusia di era kecerdasan buatan?”. Inilah salah satu pertanyaan yang kian lumrah diutarakan di zaman 4.0 ini. Untuk itulah, dengan perspektif baru yang segar, seniman dan kurator dari Korea, Jeong Ok Jeong X Cho Eun Woo berusaha menjawab melalui karya bertajuk, Brainwave & Hyper Protocol City. Mengambil inspirasi dari lukisan Renaissance The Ideal City (1480), melalui instalasi ini ia mecoba menciptakan diorama spektrum panel dan pilar kaca-plexi reflektif yang ditempatkan pada kisi berisi ribuan bola lampu LED yang terkoneksi dengan sensor yang merespons gelombang otak manusia. 

Program ini bisa langsung dicoba oleh pengunjung dengan memasangkan headset nirkabel yang telah dirancang untuk memasukkan data dan merespons sinyal EEG dari otak pengunjung. Dengan pikirannya, pengunjung bisa mengaktivasi lampu pada pilar tanpa harus menyentuhnya secara langsung. 

Karya selanjutnya yang dipamerkan adalah Robot Cyborg & Human. Ini merupakan sebuah instalasi gabungan yang terdiri dari figur yang menyerupai manusia dari polimer emas. Di dalam setiap figur terdapat robot kecil yang mampu menggerakkan figur tersebut jika dikendalikan lagi dengan gelombang otak manusia. “Banyak orang yang merasa takut bahwa AI akan menggeser peran manusia. Padahal, AI sendiri hanya bisa dikontrol oleh otak manusia. Saat ini yang menjadi penting, bagaimana keduanya dapat berjalan berdampingan,” terang Jeong Ok Jeong. Takjub dan menarik untuk ditelisik adalah ungkapan yang pas saat mendatangi pameran ini. Lima karya seni baru yang mereka buat bukan hanya sebagai objek pajangan, tetapi mampu berinteraksi dan menginspirasi dengan para pecinta seni yang hadir. Pameran ini juga menampilkan eksplorasi yang luas dari lima praktik perintis dalam seni media baru yang berpartisipasi di program inkubasi XPLORE: New Media Art Incubation, sebuah inisiatif pendidikan yang digagas oleh Arcolabs dan HONF yang telah dilaksanakan pada 2018 dan 2019. 

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page