top of page
  • Vicharius DJ

Kolaborasi Visual Batin dan Kasat Mata


Di Tugu Kunstkring Paleis, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Anda akan menyaksikan sebuah pameran bertajuk Lanskap Luar Dalam yang memaksa kita untuk melihat segala sesuatu secara menyeluruh. Duo seniman yang lama bergelut dalam seni teater dan komik berkolaborasi lagi menyuguhkan pesan menggelitik pada publik. Hal yang selama ini biasa mereka lakukan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Mereka adalah Butet Kertaredjasa dan Widiyanto. Keduanya menyuguhkan tontonan visual dalam kemasan cat air. Ada simbol Salib yang dipenuhi teks 'jenas' sebagai bentuk respons pada isu penceramah agama yang ujarannya penuh kebencian. Lalu ada ekspresi bengis seorang perempuan yang dari mulutnya keluar ular-ular berbisa atau burung suci yang garisnya tampak tak beraturan. 

Oleh Butet, keduanya mewakili lanskap dalam yang tersembunyi di alam pikiran dan batin. Ada banyak dunia batin yang berhasil divisualkan Butet ke karya-karyanya. Dalam mencipta karya Butet tak pernah merencanakan. Ia mengaku selalu spontan ketika ide itu mengalir. “Saya tidak pernah mencari inspirasi, melukis dengan improvisasi. Spontan saja,” kata Butet. Salah satu lukisan cat air yang sukses membuatnya terkagum sendiri adalah Atas Nama Demo dan Murahnya Kehormatan. “Tiba-tiba saja jadi, sebentar, kok keren banget ya menurut saya. Tidak ada artinya dan menurut saya ini suatu pencapaian,” ucapnya. 

Beda halnya dengan pelukis Widiyatno. Wid, sapaannya merupakan teman kolaborasi Butet dalam membuat komik strip yang terbit di koran harian, Media Indonesia, setiap hari Minggu. Bersama Wid, di komik strip Bung Sentil, Butet membuat narasi cerita dan Wid yang menggambarkannya. Di bagian kanan dari pintu masuk Tugu Kunstkring Paleis, ada puluhan lukisan-lukisan cat air Widiyatno. Bedanya lebih banyak detail dan keterangan kata-kata. Karya Wid diibaratkan kurator pameran Suwarno Wisetromo sebagai 'lanskap luar'. Wid mampu menampilkan pemandangan urban dengan segala hiruk pikuk, ngejlimetnya kota, dan suasana metropolitan yang penuh sesak. 

Misalnya saja pemandangan angkutan umum bajaj yang khas Jakarta, pemandangan Pelabuhan Sunda Kelapa dengan perahu-perahu phinisi, gang-gang sempit kota, metro mini, gerobak, orang yang tidur di bawah pohon sampai lanskap keadaan di dalam rumahnya. “Karya Widiyatno bertumpu pada lanskap kasat mata, apa yang dia saksikan, menumbuhkan daya tarik, menggetarkan naluri estetik dan artistiknya lalu diabadikan menjadi sketsa, dilukis menggunakan cat air, arkilik, dan cat minyak pada kertas atau kanvas,” tutur Suwarno. Pameran ini masih dibuka untuk publik hingga 21 Desember mendatang. Cukup lama waktu tersisa untuk menikmatinya.     

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page