top of page
  • Vicharius DJ

Merindukan Sanento dan Kritik Seni yang Mendalam




Dunia seni rupa Indonesia mungkin akan selalu merindukan sosok seperti Sanento Yuliman. Namanya seakan belum tergantikan di ranah seni Indonesia. Semasa hidup, Sanento dikenal sebagai kritikus seni terhebat di negeri ini. Berkat gagasan dan warna tulisannya yang bermutu, Sanento pernah mendapatkan Anugerah Adam Malik sebagai kritikus seni rupa terbaik. Untuk mengenangnya, Komite Seni Rupa DKJ menggelar pameran bertajuk, Mengingat-ingat Sanento Yuliman (1941-1992) Di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki. Ada beragam karya Sanento dan arsip miliknya yang diperlihatkan ke publik. Bahkan di satu sudut dipamerkan pula mesin ketik andalan sang kritikus kala ia produktif menulis. Adalah Hendro Wijayanto dan Danuh Tyas mengkuratori seluruh pameran.  

Pameran berupa karya dan arsip ini dibuat tidak hanya untuk merayakan kebesaran karya sang penulis, tapi sebagai upaya untuk membangkitkan kembali ingatan publik akan apa saja yang sudah dikerjakan sang maestro sebagai esais dan kritikus seni rupa. Menurut Hendro, pasca kematiannya pada 14 Mei 1992, perkembangan tradisi kritik seni rupa Indonesia tidak begitu menggembirakan. “Kita seolah kehilangan ‘jiwa’ kepenulisan kritik seni rupa. Saat ini tradisi kritik seni rupa masih terbatas pada pengantar,” ujarnya. Sejak terakhir Sanento menulis buku berjudul Seni Lukis Indonesia Baru: Sebuah Pengantar tahun 1976, tidak ada lagi buku atau riset yang mendalam terhadap perkembangan seni rupa di Indonesia. Itu berarti, kurang lebih selama 43 tahun, kritik seni rupa Indonesia masih sebatas pengantar dan belum memiliki isi atau pembahasan yang mendalam tentang seni rupa. 

Hendro, yang juga akan menjadi kurator pada pameran Ugo Untoro pada akhir tahun ini mengakui bahwa memang banyak kendala yang yang dihadapi para penulis kritik seni rupa untuk mendalami perkembangan seni rupa Indonesia. Salah satunya adalah belum banyak penulis kritik seni rupa yang sungguh-sungguh memahami sejarah seni rupa. Dokumentasi atau pendataan yang lengkap pun belum ada. Yang ada hanya berupa arsip di DKJ. Kendala lainnya, kata Hendro, adalah keterbatasan biaya bagi para penulis untuk melakukan kajian terhadap seni rupa Indonesia. Sebab biayanya cukup besar. 

Plt. Ketua Dewan Kesenian Jakarta Danton Sihombing menyebut pentingnya kritik dan pemikiran dalam dunia seni. Menurutnya seni membutuhkan sesuatu di luar dirinya sebagai zona refleksi, konfirmasi, dan koneksi dengan dunia yang lebih luas. Di sinilah kritik seni diperlukan. 

Salah satu pandangan Sanento Yuliman selaku kritikus dan pemikir seni rupa di Indonesia adalah pendapatnya bahwa seni rupa modern di negeri ini merupakan proses transaksi serupa tukar menukar kebudayaan akibat pengaruh Barat di masa kolonial dan kesadaran kaum intelektual dalam mengadopsi tata cara hidup modern. 

Pameran Mengingat-ingat Sanento Yuliman (1941-1992) sudah dibuka sejak 12 Desember dan akan berlangsung hingga 15 Januari mendatang. Bersamaan pameran ini terbit buku trilogi kumpulan kritik seni rupa. Tiga buku itu merupakan rangkaian produksi pengetahuan Seri Wacana Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta. Ketiganya adalah Dari Pembantu Seni Lukis Kita: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa Oei Sian Yok (1956-1961), Rumpun dan Gagasan: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa (1969-2019) oleh Bambang Bujono, dan Estetika yang Merabunkan: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa (1969-1992) oleh Sanento Yuliman. 


0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page