top of page
  • Vicharius DJ

Puncak Romantisme Perupa Ugo Untoro


Oleh Vicharius DJ

Di akhir tahun 2019 dan mengawali tahun 2020, Ugo Untoro hadir melalui karya dalam pameran tunggalnya, Rindu Lukisan Merasuk di Badan. Jika membaca tajuk itu, sekilas Anda mungkin akan teringat lagu lawas ciptaan sang legendaris, Ismail Marzuki berjudul Rindu Lukisan Mata Memandang. Ya, tajuk itu memang terinspirasi dari tembang lawas tersebut. Terdapat 70-an karya Ugo yang hadir dalam pameran. Seri sleeping buddha, seri lukisan, seri hujan, hingga versi baru dari lukisan bergaya romantik. 70-an karya itu menceritakan perjalanan Ugo Untoro sebermula ia menjadi seniman hingga hari ini. 

Tak banyak orang ketahui bahwa selama dua tahun terakhir, Ugo Untoro kerap melakukan perjalanan pergi-pulang ke kampung halaman, Yogyakarta–Purbalingga. Aktivitas pergi-pulang di kampung mengingatkan Ugo pada banyak peristiwa dan hal-hal yang menurutnya selama ini tercecer. “Ada sesuatu yang memang sering saya lihat dulu, tapi tidak pernah terpikir,” ungkap Ugo. 

Melalui pengalaman itu, Ugo bermaksud menjadikan sesuatu yang bisa ditumbuhkan kembali lewat karya seni rupa. Melalui proses pergi-pulang, Ugo teringat bahwa dulu ia berangkat dari karya dua dimensi. Ugo ingin kembali ke painting. Ia mencoba kembali menekuni, mengasihi, tentang melukis. Dalam proses berkarya, Ugo banyak meminjam dan mempelajari gagasan ‘romantisme’. “Saya harus mencari atau menandai peristiwa itu dengan dimulai dari kata atau cara pikir romantisme, saya mencoba semampu saya untuk mengerti, memahami, apa itu arti romantisme,” kata Ugo. Hendro Wiyanto, kurator pameran mengungkapkan bahwa pameran ini menunjukkan kesinambungan tata rupa dalam khazanah seni Ugo selama beberapa dekade berkarya. Tata rupa dalam khazanah karya Ugo datang dari semacam prinsip pencerahan dan penyederhanaan atas kesatuan yang utuh lengkap, pulang menjadi bidang, warna, komposisi artistik, dan terutama corat-coret yang berhubungan dengan kebutuhan untuk memberi kesan, imaji, dan asosiasi simbolik tertentu. 

Dalam catatan berjudul Ugo, Zen, dan Delacroix, budayawan Goenawan Mohamad menuliskan, “Penyair Archibald MacLeish—a poem should not mean, but be: sebuah sajak tak menjadi sajak karena mengemban makna, melainkan karena dia hadir dan tumbuh sebagai dirinya sendiri. Seperti kanvas-kanvas Ugo: yang membuatnya hidup bukanlah pesan yang diemban, melainkan proses dialektik antara makna dan bukan makna.” Pameran tunggal Ugo Untoro yang terselenggara berkat kerja sama Galeri Nasional Indonesia (GNI) dengan Obah Mamah dan Museum, dan Tanah Liat, pada pembukaannya dimeriahkan dengan penampilan musisi Jason Ranti. Pameran yang telah disiapkan sejak November 2018 ini diharapkan dapat terus diperbincangkan, dibawa ke berbagai ruang, dan hasil dari sebuah pameran bisa terus dikembangkan. 

Pameran ini berlangsung sepanjang akhir tahun 2019 hingga 12 Januari 2020 mendatang. Cukup menyenangkan untuk mengisi liburan akhir tahun Anda, bukan?

#UgoUntoro

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page