top of page
  • Vicharius DJ

Eksistensi Arsitektur Orang Laut Lingga dan Duano


Oleh Vicharius DJ

Pada 2019 lalu tim besar Ekskursi Arsitektur Universitas Indonesia melakukan perjalanan riset mengenai suku Orang Laut asli di Lingga, Provinsi Kepulauan Riau dan Suku Duano, Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Hasil perjalanan mereka kini dipamerkan ke publik dalam pameran bertajuk Orang Laut Pengarung Lautan Beratap Kajang di Museum Nasional Indonesia. Pameran diawali dengan mengenalkan pengunjung tentang Suku Orang Laut dalam sejarahnya. Orang Laut pada dasarnya hidup berkelompok di atas sampan-sampan yang beratapkan Kajang. Ya, tentunya keseharian mereka semata-semata dihabiskan di perairan yang luas membentang. Walaupun kini mereka ada yang sudah memilih bermukim di daratan. 

Di sini pengunjung juga bisa melihat wujud Kajang yang dibuat dari daun pohon nipah yang sudah dianyam sedemikian rupa. Kajang inilah yang dijadikan tempat berteduh bagi Orang Laut dari hujan lebat dan angin laut. Sejumlah karya tangan Orang Laut dari membuat Gelang dan Membuat Mata Tombak bisa dilihat dalam pameran ini. Rumah yang dibuat Orang Laut juga bisa dilihat replikanya yang sejatinya berdiri tegak di atas perairan. Tak kalah menariknya adalah kebiasaan Manongkah yang biasa dilakukan Orang Laut untuk mencari kerang dan memutik sumbun. Dengan papan manongkah ini, Orang Laut bisa meluncur menyisiri pantai berlumpur yang luas terbentang. Selain itu, pengunjung menyaksikan adat istiadat yang dimiliki oleh Suku Duano dan Suku Asli yang mereka miliki. 

Penanggung jawab program Ekskursi Arsitektur UI 2019, Maghfirasari Adhani mengatakan, program ekskursi semacam ini adalah kegiatan yang benar-benar dilakukan sejak 10 tahun lalu. Mengapa mesti suku Orang Laut? Suku Duano dan suku asli yang mana keduanya secara historis bersama-sama sebagai komunitas tinggal secara nomaden di sampan yang ada kajang. Tentunya, berbeda jauh dari rumah umumnya. Karena itu, kata Maghfirasari, ketika kajang dipasang maka sampan tersebut menjadi menarik. “Karena selama ini mungkin kita memikirkan sifatnya sebagai astatis, sudah pasti satu tempat, sedangkan Orang Laut ini pada sifat dasarnya semi nomaden, kami penasaran bagaimana persfektif mereka, tentang Sense of Belonging mereka terhadap suatu teritori mereka,” ujarnya. 

Jika dilihat dari sudut arsitektur, suku Asli di Lingga misalnya diklasifikasikan kepada tiga hal. Pertama, berkajang itu dipandang sebagai arsitektur, kemudian ada rumah bantuan dan rumah Sapau. Adapun, ketiga-tiganya ini masih ada hingga kini secara parallel. Selain itu, masih ada ditempati oleh beberapa keluarga di daerah pesisir. “Ini sistemnya bisa dilepas pasang, jadi mereka bisa berangkat lagi dengan sampan,” imbuhnya.  

Densy Diaz, Ketua Yayasan Kajang Peduli Suku Laut dari Kabupaten Lingga berharap hasil dari dari penelitian mahasiswa ini akan dirangkum. Selanjutnya, disampaikan kepada pemerintah tentang apa semestinya diperbuat untuk masyarakat Suku Asli di Kepri. 

Densy Diaz juga memberikan apresiasi atas Ekskursi Arsitektur Universitas Indonesia 2019. Dikarenakan, sudah mengangkat derajat suku laut yang ada di Kepri. Ia berharap penelitian tersebut menjadi motivasi bagi generasi Suku Laut.

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page