top of page
  • Vicharius DJ

Bayang-bayang dalam Kisah Pengasingan di Boven Digoel

Selama masa perjuangan kemerdekaan banyak pejuang yang ditangkap dan diasingkan jauh dari luar pulau Jawa yang kala itu sebagai sentra pergerakan. Salah satu tempat pembuangan yang paling dikenal publik adalah Boven Digoel, Papua. Perupa asal Sidoarjo, Jumaadi terinspirasi dari kisah-kisah perjuangan itu.  


Ia lalu mewujudkannya dalam sebuah karya pertunjukan Sirkus di Tanah Pengasingan: Oyong-oyong Ayang-ayang di Museum MACAN Jakarta. Ratusan wayang kertas hadir dalam berbagai ukuran dan bentuk—setiap wayang kertas mewujudkan potongan peristiwa dan dimainkan secara terampil oleh dua orang pawang bayang-bayang di atas dua mesin OHP (overhead projector) diiringi dengan musik eksperimental.

Sirkus di Tanah Pengasingan: Oyong-oyong Ayang-ayang mengadaptasi kisah 823 pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia yang diasingkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 1942. Jumaadi bercerita bahwa pertunjukan wayang yang dibuatnya kali ini membutuhkan 1.300 wayang kertas yang dibuatnya, dan juga terinspirasi dari berbagai film bisu yang ditontonnya.


“Untuk pertunjukan memakai setengahnya (dari 1.300 wayang kertas). Semuanya potongan-potongan gambar,” ungkapnya.


Jumaadi menuturkan ada dua orang pawang bayang yang memainkan bagian dari pertunjukan. Satu wayang berperan dengan satu buah Overhead Projector (OHP) di bagian kanan dan kiri. Setiap dari mereka, membawa alur cerita masing-masing yang diselaraskan bersama kisah keseluruhan

Kata Jumaadi, mereka membutuhkan satu tahun berlatih untuk mencapai level harmoni dan alur cerita yang pas. “Sebenarnya satu pawang bayang ini punya bahasa sendiri, diputar dibalik, meskipun technical, cukup filosofis juga. Kalau dalang wayang kan, dunianya langsung besar dengan layarnya yah, tapi kita juga dibatasi karena memakai OHP. Dimensi lampunya saja yang dipakai,” tutur Jumaadi.

Dari naskah itulah, Jumaadi mencoba menerjemahkan ke dalam berbagai gambar yang dibentuk di potongan wayang kertas tersebut. Ia melakukan riset di 2003 hingga 2004 dan diundang ke sebuah kota kecil yang jaraknya lima jam perjalanan dari Sydney. “Di dalam tempat itu, saya menemukan asal muasal dari cerita Sirkus di Tanah Pengasingan ini,” ungkap Jumaadi.


Dari hasil penelusurannya, Jumaadi mengetahui ada ratusan pejuang kemerdekaan yang dibuang ke Boven Digul lalu dibawa ke kota tersebut. Dari koran komunitas Indonesia di Australia juga disebutkan ada penemuan 6 puisi oleh seorang ahli sejarah yang akhirnya mengubah perspektifnya tentang seni lukis.


Dari situ, Jumaadi melakukan penelitian. Ada kisah 823 pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia yang diasingkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda ke Boven Digoel, Papua, pada 1926.

Di tengah kesulitan yang melanda, para pejuang ini beralih pada musik dan seni untuk mempertahankan semangat hidup. Mereka menggunakan perkakas seadanya, seperti paku, bilah cangkul, kaleng kosong, rantang, dan peralatan makan untuk menciptakan seperangkat gamelan. Pada 1942, setelah Jepang mengambil alih Hindia Belanda, para pejuang ini dilarikan ke Australia dan memboyong gamelan ini ke sana.


Setelah kemerdekaan, sebagian dari para pejuang kembali ke tanah air. Namun, nasib sebagian besar dari mereka tidak diketahui karena kisahnya tidak banyak diceritakan lagi. Kisah inilah yang dihadirkan Jumaadi and The Shadow Factory.

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page