top of page
  • Vicharius DJ

Ketidakadilan Bagi Disabilitas dalam Glow in the Dark

Hingga pekan ke tiga Oktober kemarin Galeri Bentara Budaya Jakarta menyajikan deretan lukisan yang menampilkan patung Buddha. Ia menyala meski tidak utuh. Karya itu menjadi bagian dalam seni instalasi berkonsep glow in the dark di pameran tunggal bertajuk “Berdua, Trilogi Kenyamanan”.

 

Seluruh karya itu merupakan kolaborasi antara seniman Dwi Putra Mulyono Jati dan Ignatius Nawa Tunggal Trahutomo yang menggunakan medium carcoal dan cat fluorescent. Mereka menghasilkan lukisan yang menyala dengan pancaran sinar ultaviolet di dalam kondisi ruangan gelap.

 

Lima lukisan dengan masing-masing berukuran 140 cm x 260 cm itu merupakan refleksi tentang Borobudur yang kondisi patungnya kian hancur. “Ini menjadi kolaborasi antara Pak Wi [panggilan untuk Dwi Putra] dan saya. Namun, kontribusi saya dari segi gagasan, kalau kuas, cat, dan arang yang menorehkan adalah Dwi Putra,” katanya Nawa yang juga adik seniman Dwi.

 

Karya lukisan patung Buddha yang tidak sempurna lantaran kehilangan sejumlah anggota badannya itu mencerminkan keadaan disabilitas. Terkadang, kondisi yang dialami seperti ini merupakan bentuk stigma dari orang lain. Hal ini tidak jarang membuat mereka tidak bisa berbaur, tidak inklusif, dan tidak setara.  

 

Jadi, karya yang pernah ditampilkan di ajang Artjog itu merupakan bentuk perlawanan terhadap stigma yang ada di masyarakat, tentang individu dengan keadaan disabilitas. Bagaimanapun, mereka juga punya hak dasar yang harus dipenuhi dan diberi kesempatan. “Kebetulan Pak Wi disabilitas mental, tunarungu, dan wicaranya itu disalurkan dalam seni rupa,” katanya. 

 

Nawa menturkan bahwa masalah yang ada selama ini adalah banyak pihak kurang memberikan kesempatan atau fasilitas terhadap individu dengan kondisi disablitas. Bahkan, sejumlah keluarga kerap meng-underestimate anggota keluarga lainnya yang mengalami kondisi demikian. 

 

Karya seni intalasi glow in the dark dalam pameran ini berawal dari tulisan sang seniman yang acak, kacau, dan loncat-loncat. Di antara tulisannya itu, terdapat kata Borobudur yang dituliskan. Dari situ, Nawa membawa kakaknya ke tempat wisata yang ada di Magelang, Jawa Tengah tersebut. 

 

Di tempat itu, terdapat patung dengan tangan dan kepala yang hilang. Nawa merasakan kesedihan melihat hal tersebut. Dia lantas mengajak Pak Wi menggambar. Beberapa karya berjudul Borobudur yang terdapat di pameran, dikerjakan di rumah melalui gambar yang diambil lewat gawai. 

 

Melukis, bagi sang seniman, adalah sebuah sarana untuk menenangkan hati, menenangkan diri. Saat ini, Pak Wi sudah membaik jika dibandingkan dengan kondisi yang dialami pada sekitar 2000an. “Iya [media healing]. Pak Wi awalnya akut, sampai memunguti puntung rokok di jalan. Lalu, dengan melukis membaik,” katanya.

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page