top of page
  • Vicharius DJ

Melestarikan Motif Fauna dalam Wastra Indonesia

Indonesia terbukti kaya akan karya seni batik, salah satu wastra nusantara yang telah ditetapkan menjadi warisan dunia. Ragam motif batik pun beragam. Ia tidak hanya tergantung kreativitas perajin batik, namun juga terpengaruh oleh lingkungan sekitar, termasuk ajaran agama yang berkembang di sekitar sentra kerajinan batik. Sebutlah Batik rifa’iyah. Batik yang berkembang di Batang, Jawa Tengah, ini punya ciri khas dalam mendiskripsikan fauna, yakni memisahkan kepala dengan tubuh hewan. Kadang, ada juga pebatik yang menggambar tubuhnya saja, tanpa kepala.

Cara penggambaran hewan juga tidak selalu eksplisit maupun realis. Umumnya, perajin menstilasi gambar hewan, misalnya dengan mengisi badan hewan dengan corak tumbuhan, membuat ekor hewan menjadi dramatis, atau tidak menggambar anatomi hewan secara utuh. Ketua Umum Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia, Komarudin Kudiya mengatakan, dalam agama Islam ada hadis yang melarang melukis makhluk hidup. Orang yang melakukannya akan dihukum di hari kiamat kelak.



Di sisi lain ada pula hadis yang jika ditafsirkan mengizinkan orang melukis makhluk, khususnya hewan, dengan beberapa ketentuan. Lukisan hewan yang diperbolehkan, antara lain, yang dibuat bukan untuk dipuja atau disembah, serta tidak digambar utuh seperti gambar ciptaan Allah. Gambar pemandangan dan elemen alam, seperti tumbuhan dan air, diperbolehkan.


Ia menambahkan, ada pula yang memahami bahwa melukis motif fauna pada batik diizinkan selama perajinnya meyakini bahwa gambar tersebut tidak sempurna. Batik motif merang ngibing di Jawa Barat menerapkan prinsip serupa. Merak digambarkan tidak sempurna. Terkadang merak digambar hanya dengan satu kaki, kadang tak berkaki sama sekali.

”Ini gambaran manusia dengan ketidaksempurnaannya membuat gambar-gambar seperti ini,” ucap Komarudin.


Menurut pemilik Batik Tiga Puteri di Cirebon, Agus Purwanto, batik Cirebon sebagian dipengaruhi budaya lain. Walau demikian, nilai agama Islam tetap ada pada batik Cirebon. Ini berhubungan dengan keraton-keraton Cirebon yang didirikan tokoh Islam. Batik Cirebon secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu batik pesisiran dan batik keraton. Fisik batik keraton terpengaruh budaya China dan merupakan hasil interaksi budaya dengan bangsa lain. Cirebon sendiri pada masa lalu merupakan tempat singgah para pelayar. ”Kendati fisiknya dipengaruhi Cina, rohnya tetap memiliki napas ajaran Islam,” katanya

Sementara itu, menurut peneliti batik William Kwan, stilasi gambar fauna bermacam-macam dan sifatnya bebas. Ada yang mengubah sayap burung menjadi ranting tumbuhan, ada pula yang ”menyembunyikan” gambar hewan menjadi ornamen kecil-kecil di kain batik. Ada juga yang melukis fauna campuran. Batik tanjungbumi di Bangkalan, Madura, misalnya, menggambarkan fauna dengan tiga belalai, berkepala mirip singa, berbadan kilin atau naga, dan ekornya serupa burung hong. Gambar itu disebut gajah sekereng.


Museum Tekstil Jakarta menghadirkan ragam batik motif fauna untuk masyarakat umum dalam pameran Ragam Hias Fauna Dalam Wastra Indonesia. Kepala Unit Pengelola Museum Seni DKI Jakarta Sri Kusumawati mengatakan, upaya pelestarian dan pengembangan wastra terus dilakukan dengan kegiatan edukatif. Publik juga bisa belajar soal wastra melalui pameran ini.

”Pameran ini kami harap semakin meningkatkan wawasan, kecintaan, kebanggaan, dan apresiasi masyarakat terhadap tekstil tradisional Indonesia, terutama ragam hias fauna. Ragam hias fauna punya pesan dan makna tertentu dan sering menggambarkan kehidupan masyarakat,” katanya

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page