top of page
  • Vicharius DJ

Membangun Ruang Artistik Liar Iwan Suastika

Iwan Suastika kembali menggelar pameran tunggal bertajuk A Man Who Carried A Mountain di D Gallerie, Jakarta hingga 12 September mendatang. Ia menghadirkan 16 karya terbaru, termasuk lukisan dan patung yang fokus pada kritik antroposentrisme.


Antroposentrisme adalah pandangan bahwa manusia adalah pusat alam semesta. Semua makhluk hidup dan benda mati lainnya ada untuk melayani manusia. Pandangan ini telah mengemuka sejak zaman Yunani kuno, dan sudah semakin dominan dalam masyarakat Barat selama berabad-abad.


Hubungan antara manusia dan alam semesta, bagi Iwan, memang selalu saling berkaitan. Terutama mengenai paham bahwa manusia adalah spesies paling pusat dibandingkan dengan spesies lain dalam menaklukan alam dengan kesadaran mereka.


Itulah sekiranya yang mewujud dalam belasan karya yang dihadirkannya. Lewat bacaanya terhadap realitas, Iwan seolah merepresentasikan fenomena perubahan lingkungan alam dan sosial yang kian antroposentrik.

Misalnya dalam karya berjudul Carrier (2023). Lukisan berdimensi 70 X 70 cm menggunakan media akrilik di atas kanvas itu menggambarkan sosok astronot yang menggendong gunung sambil tangannya memegang lilin dan akar yang tertancap di bulan.


Berbagai idiom seperti jam, tiga figur manusia dengan berbagai ekspresi, dan ombak lautan juga mengambang mengelilingi mereka. Sekilas, ironi juga tampil dalam ekspresi figur serta kekacauan harmoni yang dibangun sang seniman.


Selain itu ada pula karya berjudul The Mortal (2022) di mana manusia digambarkan berada di depan, menonjol dibandingkan dengan spesies non manusia lain. Bahkan dengan lugas sang seniman menuliskan kalimat We Are the Universe, yang seolah menjadi awal mula kisah antroposen.

Dalam lukisan berukuran 170 X 200 cm itu Iwan juga menampilkan metafora sekaligus simbol yang acak. Beberapa di antaranya termasuk pena yang terbakar, gunung dalam genggaman yang mengisyaratkan alam dalam kendali manusia, hingga plakat berbahaya yang dikenakan sang astronot.


Baginya, hubungan manusia dan alam memang selalu menarik untuk dipelajari. Terlebih lewat hasrat mereka yang menganggap dirinya sebagai puncak dari tatanan di alam semesta. Namun, manusia lupa bahwa mereka merupakan bagian dari alam semesta itu sendiri.


Jika melihat mundur ke masa lalu, alam semesta sebenarnya sudah memiliki pola yang lekat untuk memperbarui kenyataan. Termasuk menghancurkan sekaligus menyembuhkan, hingga kemudian menyusun dirinya lagi menjadi sebuah esensi baru.


Dalam sejarahnya, manusia selalu berupaya mengakali pola tersebut dengan berbagai cara, sehingga terlahirlah peradaban-peradaban hingga produk kebudayaan yang terus berkembang. Hal itulah yang menjadikan manusia bisa bertahan sampai sekarang.

“Lewat pameran ini  manusia saya simbolkan sebagai pembawa tanggung jawab besar. Segala tindak tanduknya akan tercatat selamanya di alam, bahkan berpengaruh terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang,” katanya.


Kurator pameran Ignatia Nilu mengatakan, lewat narasi dan corak visual surealistik, Iwan memang sedang menggarap ruang artistik yang liar. Kanvas telah menjadi mantra semesta atas mimpi dan harapannya terhadap dunia yang lebih baik kedepannya.


Menurutnya, secara personal sang seniman juga seolah sedang menyatakan kesadarannya terhadap pergeseran nilai di masa kini. Khususnya nilai dan metode edukasi dalam memahami kehidupan, terutama mengenai babak baru yang berpengaruh besar terhadap cetak biru manusia-manusia masa depan.


“Iwan Suastika ingin menggambarkan keadaan sekitar yang dilihat maupun dialaminya melalui banyak idiom, simbol dan metafora. Termasuk narasi identitas serta imajinasi apa yang sekiranya terjadi di hari-hari ini,” katanya.

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page