top of page
  • Vicharius DJ

Menyusuri Lorong Waktu di Instalasi Lakon Indonesia

Lakon Indonesia menggelar pameran instalasi “Lorong Waktu” di Dia.Lo.gue Art Space, Jakarta. Mereka bekerjasama dengan Adi Purnomo, seorang arsitek sekaligus seniman untuk membuat instalasinya. Idenya adalah menceritakan perjalanan pelestarian budaya yang dimulai sejak Lakon Indonesia berdiri, yaitu empat tahun lalu.

 

Thresia Mareta, pendiri Lakon Indonesia menyebutkan pameran ini sebagai pengantar menuju Teras Lakon, yakni sebuah wadah untuk bertemunya berbagai bidang ilmu untuk bekerja sama melakukan pelestarian budaya. Teras Lakon memiliki ruang-ruang yang digunakan untuk inkubator. Nantinya, inkubator akan digunakan untuk para orang atau kelompok yang memiliki bisnis fesyen yang bisa masuk ke pasar global.

 

Engel Tanzil, kurator Dia.lo.gue Art Space turut mendukung pameran ini. Dia mengaku mulai tertarik pada Lakon Indonesia ketika menggelar pameran instalasi Pakaiankoe. Menurutnya, instalasi itu unik karena seperti bercerita hal yang dalam soal fesyen. “Bukan cuma fesyen aja, tapi sejarah dan instalasi yang bisa memukau anak-anak generasi saat ini,” ujarnya.

 

Thresia tidak ragu lagi untuk menggandeng Adi Purnomo dalam kerja sama dunia mode dan arsitektur yang sudah ia kenal sejak 2012. Dimulai dari proyek bersama yang dilakukan untuk TK Pahoa yang mengusung tema lahan hijau, Thresia semakin yakin bahwa Adi akan sukses membangun pameran instalasi dengan ide yang unik.

 

Pakaiankoe merupakan bentuk kerja sama pertama kali antara Adi dan Thresia yang ditampilkan dua tahun lalu. Adi yang saat itu masih merasa awam dengan dunia mode, berusaha melihat hal tersebut lewat kacamatanya sebagai arsitek. Instalasi seni Lorong Waktu ini memiliki ide dan disusun dengan apik. Alih-alih hanya menggunakan display pada koleksi busana, Adi lebih memilih menggantungkan koleksi Lakon untuk menonjolkan karakter.

 

“Pakaian itu sendiri harus mewakilkan diri pakaian tersebut. Saya mencoba melihat ini semua sebagai makhluk, mungkin nanti kita bisa melihatnya terasa bergerak atau berbicara,” katanya.

 

Jika berkunjung ke Dia.lo.gue Art Space, sari pintu masuk, Anda akan langsung melihat koleksi Lorong Waktu, Aradhana, Gantari, dan Pakaiankoe. Koleksi tersebut disusun berurutan sesuai kronologi. Lorong Waktu menjadi koleksi terbaru yang menandakan bahwa Lakon Indonesia sudah menjadi dewasa.

 

Sebagai penghasil kain tenun yang lebih banyak daripada kain batik, Lakon Indonesia juga mengeksplorasi tenun. Kain tenun merupakan salah satu kain yang sulit diolah sebagai pakaian jadi karena strukturnya yang cenderung kaku. Untuk itu, Teras Lakon membuat pelatihan untuk mengolah tenun dengan pola yang sederhana agar mudah dipelajari. Thresia berharap ada dukungan dari beberapa pihak sehingga dirinya bisa membantu melatih pengolahan tenun. “Ini bisa membuat peluang bisnis baru untuk mereka untuk mengolah tenun,” katanya.


Tidak hanya peduli soal pelestarian budaya, Lakon Indonesia juga menyoroti isu lingkungan hidup. Salah satunya mengulas soal pewarnaan alami yang dinilai lebih ramah lingkungan. Thresia tak sepenuhnya sependapat. Di satu sisi, pewarna alami memang lebih ramah dari segi limbah yang dihasilkan. Tapi, proses pembuatan menggunakan pewarna alami membutuhkan waktu lebih panjang dan penggunaan air yang lebih banyak.

 

Kedua faktor itu dinilainya menyebabkan harga produksi melambung dan lebih sulit dijual di pasaran. Padahal, para perajin Lakon Indonesia membutuhkan penghasilan yang cepat dan stabil. Pada 40 koleksi yang dipamerkan di Instalasi Lorong Waktu, dia mengaku berhasil menemukan cara menekan biaya produksi dengan menyederhanakan potongan. Cara itu dinilainya dinilai lebih hemat dari segala sisi.


“Jadi waktu kita baru mencoba menyederhanakan potongan, yang dipotong itu sedikit tapi yang dihemat banyak sekali. Materialnya hemat dan waktu kerja hemat,” tuturnya.

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page