- Vicharius DJ
Perjalanan Visual Putu Mencari Garuda
Putu Sutawijaya mengadakan pameran tunggal bertajuk Lelampah di Bentara Budaya Jakarta. Ia mencoba untuk mempertemukan seni rupa, fotografi, dan lukisan. Sebetulnya dulu ia pernah mencoba pola berkarya seperti ini, tetapi belum pernah se-total sekarang. Lukisan Putu monokrom dan didominasi warna hitam-putih, sementara patungnya kecoklatan.
Ibarat seorang caleg menjelang pemilu, Putu blusukan ke lapangan, menyapa warga, dan mempelajari candi-candi di Jawa. Lewat pola ini, Putu mencoba memvisualkan Candi Kedaton, sebuah candi yang ada di dalam hutan Gunung Argopuro, Probolinggo, Jawa Timur. Di sana ada relief yang menceritakan Garuda saat mencari air amerta atau air kehidupan. Air itu adalah kunci pembebasan ibunya, Winata, yang diperbudak Kadru.

Pesona relief boleh jadi salah satu daya tarik candi. Namun, ia tak lupa menyerap apa saja yang bisa ditemui di lapangan: suasananya, alam sekitar, hingga masyarakat yang menjaga candi.
Pengalaman ini membawa Putu belajar lagi cara melihat dan merasakan segala sesuatu. Bisa dibilang, ia belajar lagi dari nol. Kemapanan teknis berkesenian tak dibiarkan jadi tipuan untuk nyaman di satu tempat. Meskipun demikian, perjalanan pengalaman lapanganlah yang akhirnya memperkaya Putu.
Perjalanan dalam bahasa Jawa bisa diartikan sebagai lelampah lalu dipilih sebagai judul pameran. Menurut kurator pameran Kris Budiman, perjalanan Putu mencari Garuda, dan dirinya sebagai seniman, bukan perjalanan yang diartikan secara harfiah. Lingkup medan makna perjalanan melampaui geografi fisik.

”Jika boleh dirumuskan dengan terma-terma lokal dalam sistem pengetahuan Jawa, jangkauannya mulai dari laku raga, laku cipta, laku jiwa, hingga laku rasa,” ujar Kris pada catatan kuratorial.
Garuda lantas ditetapkan menjadi inspirasi, kemudian digubah menjadi karya. Sedikitnya ada 10 lukisan hitam-putih di atas kanvas. Ukuran paling besar 200 senitimeter x 200 senitimeter, paling kecil 80 cm x 70 cm. Ada juga lukisan yang diolah dari foto di atas plat aluminium berdimensi 50 cm x 50 cm, serta patung-patung dari besi dan kuningan setinggi sekitar satu meter. Selain itu, Putu juga melakukan video dokumentasi riset ke Candi Kedaton.
Ibarat belajar dari nol lagi, Putu butuh waktu cukup lama untuk menyiapkan pameran, sekitar delapan bulan. Ia juga banyak berkontemplasi, mengendapkan gagasan-gagasan yang muncul untuk dikaryakan. Garuda dipilih bukan hanya karena relief di Candi Kedaton menarik. Garuda punya kualitas manusiawi sehingga Putu meyakini bahwa sebenarnya kita semua adalah Garuda. Bukan hanya tubuh Garuda yang manusiawi di relief ini, karakternya pun demikian.

Perjalanan mencari air amerta membawa Garuda ke Dewa Wisnu. Sang Dewa setuju memberi air amerta asalkan Garuda mau menjadi tunggangannya. Garuda setuju. Yang penting, ibunya lepas dari perbudakan.
Karya Putu mengingatkan lagi nilai-nilai Garuda. Bagi sang seniman, Garuda adalah rambu-rambu untuk berkelakuan. Tak boleh semena-mena walau negeri ini adalah rumah sendiri. Garuda juga digambarkan sebagai pelindung keberagaman. Ini ada di lukisan ”Menjaga #2” yang dibuat pada kanvas berukuran 200 cm x 150 cm. Putu melukis Garuda yang menggendong benda lonjong besar mirip batu dengan ukiran peta Indonesia.