top of page
  • Vicharius DJ

Refleksi 25 Tahun Reformasi dalam Rupa Dua Dimensi

Tidak terasa negeri ini sudah 25 tahun menjalani kehidupan demokrasi yang lebih baik ketimbang masa Orde Baru. Kebebasan itu ditandai meletusnya peristiwa Reformasi yang terjadi pada 21 Mei 1998 saat mantan Presiden Soeharto menyatakan untuk mundur dari jabatannya. Bentara Budaya Jakarta mencoba untuk merayakan peristiwa besar itu melalui pameran Drawing Eksperimental,  Indonesia Kini, 25 Tahun Peristiwa Mei 1998.


Pameran itu digelar hingga 29 Mei mendatang dengan Sindhunata sebagai kuratornya. Menurutnya, pameran ini digelar demi mengingat mahalnya harga reformasi yang direfleksikan hingga hari ini. Meletusnya reformasi yang disertai kerusuhan Mei 1998 juga menyasar kelompok etnis tertentu sebagai korban kekerasan.

”Kita seakan lupa dengan sekian banyak mahasiswa dan rakyat yang menjadi korban. Karena itu, seni rupa dan beragam ekspresi lain yang dihadirkan dalam pameran dimaknai sebagai pemicu kreativitas dan sumbangan untuk hidup berbangsa,” ujar Sindhunata.


Seluruh karya yang ditampilkan di pameran merupakan bentuk jiwa kebebasan sebagai cita-cita reformasi. Gambar-gambar itu diharapkan mampu membingkai kerja dan kreasi arah gambaran tersebut, yakni ke sebuah pesta kegembiraan, sukacita, persaudaraan, pertemanan, dan kemerdekaan.


Sebagai contoh, gambaran pascareformasi terlihat pada lukisan berjudul Balada Demonstran dan Pinokio karya perupa, penyair, sekaligus jurnalis Yusuf Susilo Hartono. Lukisan berukuran 140 cm x 140 cm itu menggambarkan situasi Indonesia yang dipenuhi kebohongan para pemimpin dan pelayan rakyat saat ini.

Lukisan itu berisi tiga orang yang disebut sebagai demonstran, pencipta trisakti (Presiden Soekarno), serta pinokio dengan hidung panjang tengah menginjak pencipta trisakti tersebut. Demonstran dalam lukisan itu digambarkan sebagai tukang teriak pada masa reformasi yang juga merupakan rakyat biasa. Seiring berjalannya waktu, rakyat biasa itu berubah menjadi wakil (rakyat) yang saat ini diartikan sebagai mereka yang duduk di kursi pemerintahan.


”Lihat kondisi Indonesia saat ini, kita tidak lagi mandiri politik, mandiri ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Para pemilik kekuasaan semakin senang berbohong. Saat ini, pemegang trisakti itu dianggap sebagai ancaman bagi kelompok pinokio yang ingin mempertebal kantong, lewat berbagai peraturan yang bolong-bolong,” ujar Yusuf.


Manajer Bentara Budaya Ilham Khoiri mengutarakan soal revolusi teknologi informasi yang mengembangkan ruang baru, yaitu media sosial. Saat ini masyarakat menemukan ruang terbuka untuk berbagi beragam informasi serba cepat dan tidak terbatas. Namun, nyatanya ruang publik ini menimbulkan dilema serius, terutama terkait pemanfaatan dan dampaknya yang sulit dikendalikan.

”Semua kelompok leluasa menggunakan media sosial. Ada saja kelompok yang sengaja menyebarkan kabar bohong atau berita palsu demi meraih kepentingan tertentu. Terlebih, kini medsos menjadi sarana kampanye yang efektif sehingga muncul gejala post truth atau kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran,” kata Ilham.


Salah satu karya lukis yang juga dipamerkan berjudul Kebebasan Berbicara karya Fitrarina. Ia mengangkat tema kebebasan berbicara yang membelenggu pada masa reformasi. Namun, kini situasinya berbeda. Setiap orang dapat dengan bebas menyuarakan hal yang dianggapnya benar hingga tidak benar sekalipun.


”Dalam lukisan itu saya menggambarkan orang berbicara dengan toa, jempol bertoa, ponsel bertoa, serta laptop bertoa. Kemajuan teknologi yang sangat pesat membuat manusia lebih mudah menyampaikan pendapat sampai kebablasan, merundung, berbohong, omong kosong, dan memaki. Padahal, manusia dapat lebih bijak dalam berpesan dan tidak berlebihan,” kata Fitrarina.

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page