top of page
  • Vicharius DJ

Seni Kontemporer dari Sampah Plastik

Seniman asal Yogyakarta, Eko Nugroho tampil lagi melalui pameran tunggalnya bertajuk Cut the Mountain and Let It Fly di galeri seni ROH, Jakarta. Sepertinya tahun ini menjadi momentum bagi Eko untuk mengeksplorasi berbagai medium, salah satunya sampah limbah plastik.


Eko punya banyak alasan mengapa ia memilih medium sampah plastik. Salah satunya karena sampah limbah plastik merupakan salah satu sampah yang memberikan ancaman terhadap lingkungan. Kantong plastik pun surat terurai oleh alam dan menjadi salah satu pencemar xenobiotik.


Di Yogyakarta, kata Eko ada banyak seniman yang bisa membuat kerajinan dengan karya plastik. Eksplorasi ini tak akan pernah berhenti. “Seperti topeng plastik yang saya pakai untuk figur patung di antara enam patung di pameran ini. Itu semuanya dibuat dengan plastik,” kata Eko.

Memanfaatkan sampah plastik bukanlah hal baru buat Eko. Pada ajang Art Jog 2018 ia sudah memamerkan beberapa karya dari material yang sama. Sebagai seorang seniman, Eko mendesain patung lalu mencari bentuk-bentuk botol maupun sampah plastik untuk dipakai. Ia menuturkan yang paling gampang didapat adalah kaleng cat plastik, dipotong, dan disulam.


Salah satu karya Eko yang bisa disaksikan di pameran ini berbentuk figur manusia ditutup topeng yang tak biasa. Hanya menyisakan mata di bagian atas. Menurut Eko, topeng-topeng ini memiliki karakter atau simbol yang menarik. “Kalau ditarik ke budaya kita orang Indonesia, budaya verbal itu lebih kuat dan budaya membaca lebih sedikit. Budaya verbal itu selalu diiringi oleh topeng,” katanya.


Simbol mata sampai topeng, Eko menghubungkannya menjadi satu benang merah yakni identitas. Figur melalui simbol identitas itulah yang dihadirkan dalam 12 patung yang kini tengah dipamerkan. Ada simbol patung keadilan, kesejahteraan, kebudayaan, keseimbangan sampai idealisme.

“Di satu sisi hal-hal yang menjadi mulia juga bisa menghancurkan kita. Atas nama keadilan, bisa menjadi ketidakadilan buat yang lain, atas nama kesejahteraan juga begitupun sebaliknya. Itulah hidup,” katanya.


Selain itu Eko juga menghadirkan karya bertajuk We are Human yang berskala monumental berupa robot berbentuk bola dengan lima kaki. Di sekeliling area galeri, ada enam patung seukuran manusia yang membicarakan seputar relasi kuasa yang dialami pekerja yang dapat lebih jauh dimaknai sebagai bentuk perbudakan.


Lihatlah topeng yang dikenakan, ada topeng yang menjuntai seperti gurita, ada juga yang dibuat menumpuk seperti ular, namun topeng-topeng itu menyisakan kedua mata di bagian wajah.


Menurut keterangan Eko, seluruh karya yang dihadirkan mencoba menilik 20 tahun prosesnya berkarya sebagai seniman. Pameran kali ini masih memakai karakter yang sama seperti pada 2015. Ada figur identitas sampai simbol mata yang menjadi pengawas dari segala hal yang terjadi.

“Sebelum itu, saya juga sudah menggunakan idiom atau simbol seseorang di balik sesuatu. Saya ingin membicarakan kehidupan modern dimana saya hidup dan memahami apa yang ada di kehidupan ini. Dalam berkarya, saya memang tidak melepaskan apa yang ada di dalam lingkup sekitar saya,” tutur Eko.


Pameran Cut the Mountain and Let It Fly berlangsung hingga 13 Agustus mendatang. Nama pameran ini bermula dari karya mural terbesar yang pernah dibuat oleh seniman asal Yogyakarta pada Biennale de Lyon: The Spectacle of the Everyday ke-10 di Paris. Karya mural di Lyon, Prancis, menggambarkan lanskap gunung melayang dibelah menjadi dua.


Karyanya mengkritik konteks lokal dan dilihat sebagai sindiran jenaka akan tradisi Mooi Indie atau gaya visual khas Indonesia. Nama Cut the Mountain and Let It Fly juga dicetak di kaus yang dikenakan seorang figur patung laki-laki Everyone Building Hope yang dibuat Eko berukuran manusia.

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page