top of page
  • Vicharius DJ

Tradisi Sastra Tutur dalam Lakon Warahan Selip

Teater Satu Lampung tampil cukup apik dengan lakon Warahan Selip: Malam Ini Aku Tak Ingin Sendiri di Gedung Teater Arena Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Penampilan mereka merupakan bagian dari Jakarta International Literary Festival (JILF) 2022.

 

Adegan dibuka dengan kemunculan lima sosok yang saling mendorong sebelum masuk panggung arena. Kagok, udikdan berkesan canggung. Setelah mendapat instruksi dari pimpinan produksi, mereka pun masuk mengendap-endap untuk mengenalkan diri dalam dialek Bahasa Lampung. Sementara, di lantai belakang mereka tergelar gambus, gitar, jimbe, rebana, dan kudapan kacang rebus. Tak lupa beberapa bungkus rokok, asbak, dan tiga gelas kopi hitam tersaji di atas tikar. Semuanya terpapar jelas.

 

Kelompok teater ini membawa tradisi sastra lisan warahan dengan balutan komedi satire yang segar dengan arahan sutradara Iswadi Pratama. Lewat metode akting realisme Stanislavsky, para aktor juga lihai berimprovisasi sehingga tercipta adegan spontan yang memikat. Jarak pandang yang dekat membuat mimik mereka tergambar jelas.

 

Secara sederhana, lakon hanya mengisahkan tentang kelompok kesenian tradisi yang diundang ke festival sastra internasional. Tapi, ada salah satu personel yang saat menampilkan sastra lisan, ingatannya justru melayang pada tembang kenangan meski dia tidak menyadari hal itu.

 

Adalah Batin Dengian (Riza Kharisma). Dia merupakan sosok paling berkuasa di grup tersebut. Dari segi akting dan improvisasi, laku aktor ini memang paling dominan. Terlebih, dia juga memiliki vokal bagus, sehingga bisa memainkan cengkok dari warahan, pop, hingga rock, yang selalu menimbulkan gelak penonton.

Dialog antar karakter juga menjadi medium penyampai pesan yang tepat karena membawa tema sastra lisan (tutur). Konflik antara Batin Dengian dan Sirajuddin (Gandi Maulana) untuk tetap berpijak pada tradisi atau tidak juga menjadi isu krusial dalam khazanah sastra saat ini.

 

“Jadi kita harus putuskan dulu dalam pementasan ini, harus memainkan sastra tradisi atau kontemporer?” Tanya Sirajuddin pada Dengian. “Sastra tradisi yang kekinian,” sambut Dengian setelah menyeruput kopi. Tak ayal jawaban itu pun membuat penonton terpingkal-pingkal.

 

Iswadi Pratama mengatakan pementasan lakon Warahan Selip memang dikhususkan untuk acara JILF 2022. Di tengah gegap gempita festival sastra lokal atau internasional di Indonesia, menurutnya penyelenggara sering luput untuk melibatkan seniman tradisi sastra tutur.

 

Iswadi menilai, saat ini banyak pegiat sastra yang banyak berbicara mengenai isu luas, tapi mereka tidak menyadari ada isu mengenai sastra di dekatnya yang terancam punah karena jarang diberi ruang. Padahal, banyak sastra modern yang terinspirasi dari kebudayaan sastra lokal.

 

Tak hanya di Lampung dengan tradisi Warahan, tergerusnya tradisi lisan, menurut Iswadi juga sangat mungkin terjadi di daerah lain. Problem tersebut seharusnya diberi ruang untuk didiskusikan dalam membaca khazanah kesusastraan Indonesia kiwari.

 

Dalam konteks ruang dan waktu, menurut Iswadi tradisi juga tidak bisa dilihat melalui perspektif modernisme. Tapi dapat disiasati dengan 'dialog' agar mereka tetap eksis. Wayang kulit misalnya, saat ini bisa juga dipentaskan selama dua jam, sehingga lebih dapat menyesuaikan dengan kesibukan masyarakat untuk dapat menikmati pagelaran tersebut.

 

Namun, format sebenarnya juga harus mendapat ruang. Sebab jika tidak, generasi mendatang tidak akan tahu bahwa wayang kulit sebenarnya digelar semalam suntuk. Inti persoalan ini menurut Iswadi bukan hanya soal pertunjukan, tapi pergaulan sosial yang intim di baliknya yang juga harus tetap dirawat.

 

“Banyak pelaku seni tradisi atau sastra tutur yang nasibnya sudah makin nggak jelas. Karena dia nggak punya ruang, bukan cuma di Ibu Kota, tapi daerah lain. Kalau memang mendapat ruang ya pasti event-event formal gitu ya, seperti agenda pemerintah,” papar Iswadi.

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page